blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Mekar Setelah Patah
Bukan Konsumsi Publik
Adakalanya
Perempuan Yang Merugi
Tanpa Arah
Kehidupan Setelah Kematian
Sorot Mata
Tentang Manusia
Tentang Waktu
Cinta

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Mutiara Dari Timur
16 April, 2022 • 1 comment {s}



Suasana siang menuju sore hari di masjid sekolah lengkap dengan guyuran hujan yang membuat Kota Bandung yang sejuk menjadi semakin sejuk. Saat itu, ada salah satu murid, alumni sekolah tersebut yang juga bagian dari DKM. 

Oh iya, aku belum sempat menceritakan kisahku tentang sekolah, DKM, dan pengalaman beberapa tahun ke belakang. Insyaallah akan kusempatkan untuk dituliskan secara bertahap.
Mari kembali lagi ke bahasan.

Anak tersebut sengaja diundang oleh pembina DKM (rohis sekolah) untuk memberi motivasi kepada adik-adiknya. Ariq namanya.

"Ariq, bagaimana kabarnya? Sekarang lanjut sekolah di Gontor ya?" Tanya Pak Pembina, mengawali pembicaraan.

"Alhamdulillah, Ustadz." Jawabnya sangat tawadhu dan selalu tertunduk malu. 

---

Ia pun memulai kisah perjalanannya dari seorang siswa di SMP Negeri menjadi Santri Daarussalam Gontor 1 di Ponorogo. Mari coba kuingat berbagai hikmah yang sempat dibagikan (walaupun redaksinya tak sama persis, semoga hikmah yang diceritakan dapat diambil bagi kita semua).

Berawal dari kebingungannya untuk melanjutkan sekolah, dengan bekal pas-pasan untuk ke SMA Negeri dari segi akademik, ke MAN dari segi kemampuan Bahasa Arab dan Ilmu Keagamaan, apalagi bercita-cita ke pesantren yang ia pun sadar diri dengan kemampuannya. 

(Teringat mimpiku beberapa tahun silam untuk melanjutkan bersekolah di pesantren, tapi qadarullah belum terwujud, sehingga aku sangat excited mendengarkannya).

Setelah melewati banyak pertimbangan, akhirnya ia putuskan untuk melanjutkan studinya ke Pondok Pesantren Modern Daarussalam, Gontor. Bagi sebagian orang, Gontor bak penjara menakutkan, tempat dipisahkannya anak dari orangtuanya, dari kehidupan yang nyaman.

Tanpa ada dasar Bahasa Arab sama sekali, ia mengikuti kelas persiapan untuk tes seleksi. Ujian Bahasa Indonesia dan Matematika dapat dilaluinya dengan mudah, dan ketika dites oleh sang Ustadz pun hanya diminta untuk mengaji saja, namun ia gelagapan saat diujikan soal Bahasa Arab.

Singkat cerita, atas setiap kepasrahan dan ikhtiar yang telah dilakukan, tawakkal kepada Allah, dan doa orang tua, saat pengumuman tiba, sempat-sempatnya ia tertidur karena overthinking semalaman akan hasilnya. Ternyata ia lulus dan diterima di Gontor 1, di Ponorogo. Saat itu ia hanya mampu mengucap hamdalah (karena kondisi di sana tidak ada orang tua dan isinya ikhwan semua dengan ruangan yang sangat sesak).

Ia ikut di kelas 1 intensif yang diperuntukkan bagi setiap anak-anak yang belum memiliki kemampuan Bahasa Arab yang baik. Awalnya ia mampu menyesuaikan dengan kehidupan pondok. Namun semua berubah saat kitab-kitabnya tak lagi berbahasa Indonesia, melainkan full text in Arabic. Jelas ia merasa tertinggal dan tertatih dari teman-teman yang lain, merasa insecure dan paling bodoh dibanding teman-temannya yang lain. Walaupun begitu, tekadnya sudah bulat untuk menimba ilmu di pesantren tersebut, motivasinya adalah orangtua dan berjihad dengan ilmu yang adalah dakwah baginya. Pilihannya hanya dua: bertahan atau pulang. Beberapa di antara temannya ada yang terpaksa pulang bahkan kabur karena merasa tidak kuat dalam proses pembelajarannya. 

Pelajaran yang aku ingat dari kisah anak tersebut adalah:

0. Niat lillahi ta'ala atas setiap pilihan kita. Niat yang menguatkan, niat yang menjaga semangat untuk terus berjuang.

1. Kita diajarkan untuk berproses dalam setiap aktivitasnya, sesederhana saat mengantri kamar mandi, makan, ambil uang, dan lain-lain. Mau tidak mau, ya harus. Jika tidak mengantri, maka kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Tentang bersabar dan menghargai setiap prosesnya, tidak ada yang instan.

2. Mahfudzot 1: Man Jadda Wajada (Siapa yang bersungguh-sungguh dia kan berhasil), kalimat ini sering kita dengar apalagi jika kita pernah menonton film "Negeri 5 Menara" atau membaca bukunya. Kisah perjalanan anak tersebut, atau refleksi dalam kehidupan tentang keberhasilan setiap pencapaian kita, aku rasa sangat relate dengan kalimat tersebut. Ya siapa yang bersungguh-sungguh dia kan berhasil. Iklim belajar di Gontor terbiasa belajar dari dan hingga pukul 03.00 dengan berteman kitab-kitab tebal berbahasa Arab. Pengalaman lucu yang diceritakan anak tersebut adalah tentang belajar dalam lemari, ya kepalanya saja yang masuk lemari. Karena katanya, di dalam lemari itu bebas kita tempelkan apapun yang menyemangati kita, dan relate juga denganku dulu, ketika menghafalkan harus ada satu tempat milik kita sendiri dengan minim suara, ya bagi banyak anak-anak di sana adalah di dalam lemarinya masing-masing.

3. Mahfudzot 2: Man Shobaro Dzofiro (Siapa yang bersabar, dia yang beruntung), ya dari cuplikan kisah Ariq dan pasti dalam kehidupan kita juga pernah ditemui tentang kisah kesabaran akan proses. Intan juga akan menjadi perhiasan yang mahal karena berbagai tempaannya, begitu pula mutiara terbaik dalam lautan terdalam.

4. Mahfudzot 3:  Al waqtu kassaif, fa in lam taqtha'hu qatha'aka (Waktu itu seperti pedang, maka jika kamu tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu). Berbicara tentang pengelolaan waktu, agaknya masih menjadi PR bagi diri pribadi. Namun mari sama-sama kita mengingat bahwasanya Allah banyak sekali bersumpah dengan waktu yang menunjukkan betapa pentingnya hal tersebut dalam kehidupan. Waktu akan terus berlalu, dengan kita berpindah ataupun tidak dari setiap urusan kita. Ia akan terus berjalan, menebas tanpa ampun bagi siapapun yang tak pandai dalam menggunakannya. Ia takkan dapat diputar kembali, dan takkan dapat dihentikan. Ia akan terus melaju.

5. Menunda kesenangan, masih berbicara tentang pedang. Hikmah yang saya dapat dari kisahnya adalah, ia menunda kesenangannya di masa muda untuk kelak ia tuai di hari tuanya. Ya, remaja seusianya, sudah banyak yang mulai menggunakan pedangnya dan membiarkannya tumpul jika dipakai terus menerus tanpa diasah (maksudnya di sini, banyak remaja seusianya yang malah memilih untuk mencoba hal-hal baru dalam konteks yang kurang bermanfaat, kurang minat dalam belajar, sehingga tak diasah kemampuannya, dan akan tumpul begitu saja ketika bertemu dengan dunia luar), sedangkan ia lebih memilih untuk menunda kesenangan untuk mengasah pedangnya dengan ilmu yang akan semakin tajam di hari tuanya kelak di waktu yang tepat saat ia menggunakannya kelak untuk menebar manfaat, berkhidmat untuk ummat. Ia mengatakan bahwa miris sekali dengan remaja seusianya yang dengan bahagia semunya, bertiktok ria bersama dengan lawan jenis -berkhalwat-, waktu sangat berharga baginya, karena setiap detiknya akan dimintai pertanggungjawaban.

6. Sangat hormat dengan para ustadznya, di Gontor, jika ia tidak mampu mengikuti penjelasan ustadznya, dia tertinggal berarti memang ia tertinggal dan belum kompeten. Di sana, tidak naik kelas bukanlah aib, tapi juga kesempatan untuk memahami lebih lagi. Dan hukuman yang paling ditakuti adalah ketika diskors selama 1 semester untuk tidak ikut pelajaran atau dikembalikan ke rumah. Juga tentang ketua kelasnya, yang menarik dari pendidikan di Gontor adalah tentang penanaman tanggung jawab dan karakter. Ya, ketua kelas adalah salah satu pendidikan menjadi pemimpin yang amanah, tentang qiyadah wal jundiyah, dimana pemimpin itu adalah pelayan bagi warganya, dan warga harus sadar diri serta taat dengan pimpinannya. Jika ada kesalahan dari satu orang anggotanya, ketua kelasnya lah yang lebih dulu menanggung konsekuensi atas kesalahan anggotanya. Menyadarkan bahwasanya amat berat tanggung jawab seorang pemimpin kelak di akhirat.

7. Yang menarik lagi yakni, Hari Jumat sebagai hari pertanggungjawaban atas setiap kesalahan dalam satu pekan, bak bebersih dosa. Ya katanya, sebagai replika kelak di Yaumul Mizan saat tak ada lagi pembelaan atas setiap dosa-dosa kita di dunia dan untuk mempertanggungjawabkannya.

8. Liburnya hanya di Hari Jumat pukul 13.00 - 15.00 saja, yang biasa dimanfaatkan untuk bermain di menara.

9. Di Gontor menganut prinsip keikhlasan yang paling utama dan lulusannya diharapkan kelak mampu berkhidmat untuk ummat. Ya tentang "Apa yang kamu cari", "Apa yang kamu dapatkan", dan "Apa yang kamu berikan."
Sebagaimana seorang penuntut ilmu, bukan hanya tentang mencari dan mendapatkan lalu puas dengan apa yang ia miliki. Menurutku, Gontor sangat baik sebagai bahan percontohan dalam pendidikan karakter dan definisi adab sebelum ilmu dan amal setelah ilmu yang diterapkan dalam sistem pendidikannya.

10. Di sana memang dipersiapkan salah satu bidang pilihan untuk dijadikan ahli kelak ketika terjun ke masyarakat. Kita harus menjadi spesialis dalam bidang yang kita geluti namun mampu menjadi generalis sebagai modal mengarungi hidup ini.

11. Terlambat bukan berarti gagal. Ya semuanya punya garis waktunya masing-masing, tak bisa disamaratakan. Ada yang cepat dan seakan tepat waktu sebagai karunia dari Allah untuk menguji syukurnya, ada yang seolah terlambat, namun Allah hadiahkan pengganti yang lebih baik lagi, yang kelak akan menambah syukur dalam sabarnya. Ariq pun terhitung satu tahun lebih lambat dari teman sepantarannya, tapi bukan berarti kita berhak melabeli ia gagal bukan? Ia sedang ditempa agar lebih kuat lagi.

12. Pimpinan di sana ada 3 orang, seketika aku jadi ingat saat dulu menjadi presidium, katanya kalau dua orang pemimpinnya beda pendapat ada penengah dan pemberi keputusan final. Jadi tidak mutlak hanya dari pendapat satu orang saja. 

Aku banyak belajar dari kisah Ariq tadi, semoga Allah karuniakan keberkahan dalam ilmunya.
Belajar dapat dari mana saja dan melalui siapa saja kan? Tugas kita saat belajar adalah dengan mengosongkan gelasnya, untuk menerima setiap ilmu yang diberikan:)

Labels:



Blogger hikmahmedia44 said...

Mantap, Alhamdulillah. Terarsipkan

 

Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer