
Guru
25 May, 2022
•
2 comment {s}
Sampai saat ini pun, aku masih bertanya-tanya tentang hidupku.
"Aku? Seorang guru? Serius nih?"
Sangat cepat aku rasa transisi itu. Saat kecil dulu, memang aku suka bermain 'Guru-guruan' dengan adik-adikku, saat kuliah, aku sudah terbiasa menjadi freelancer pengajar privat saja, bukan di institusi resmi dan ternyata sangat jauh berbeda.
Beberapa pertanyaan ini, juga seringkali berputar-putar di pikiranku, "Apa yang sedang aku lakukan?", "Akan sampai kapan aku merantau?", "Apa aku akan terus seperti ini?" sebagai akibat tak langsung dari masa transisi yang kurasa sangat cepat.
Terhitung sudah hampir 5 bulan, seumur jagung. Masih sangat jauh untuk dapat disebut sebagai seorang "Guru". Sampai saat ini pun, aku tak hafal nama dan bentuk wajah mereka secara menyeluruh -hanya sebagian saja-.
Aku pun sering bertanya, "Untuk apa aku seperti ini?", dan "Mengapa aku ada di sini?"
Apakah jawabannya untuk mengisi waktu, mencari pundi-pundi rupiah, atau menggunakan lembar ijazah itu agar berguna? Lalu mengapa memilih di tempat ini? Tempat yg sangat jauh mungkin jika dibilang dengan materi.
Semua, atas pilihan ibuku. Kalian percaya dengan ridha orangtua adalah ridha Allah? Ya, aku percaya. Di episode hidupku sebelumnya, aku telah membuktikan hal tersebut. Sepertinya aku tak cukup berani lagi untuk mencoba hal yang lain.
Aku pikir lagi dan lagi, "Untuk apa?". Jika aku ingin dinilai sebagai seorang nasionalis, pasti akan terjawab dengan mudah, "Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.", ya itu memang ada dalam roadmap kehidupanku, tapi, kejadian hari itu di depan gerbang sekolah membuatku terenyuh. Seorang ayah dengan motor tuanya mengantar dan memberikan bekal untuk putrinya. Lintasan memori masa kecilku menyeruak dalam pikiran. Kalian tahu, roda kehidupan itu dipergilirkan? Kita tak tahu bagaimana kehidupan ia di masa lampau, susah senangnya, tangis tawanya pun masa mendatang.
Aku ingin berbagi sedikit ilmu yang dititipkan secara inklusif tanpa pengecualian, tanpa memandang dia orang berada atau tidak. Itulah juga alasan aku memilih tempat ini (bukan swasta-swasta mentereng yang uang masuknya saja puluhan juta). Dengan berbagai latar belakang kehidupan mereka, mereka berhak mendapat pendidikan yang layak. Di antara profesi-profesi orang tua mereka itu, anak-anak didikku adalah harapan orangtuanya di masa mendatang, lebih jauh, mereka adalah generasi penerus bangsa, penerus peradaban.
Tapi marilah kembali kutarik mundur dari rencana super megah itu, ya, aku adalah Guru. Guru Matematika, lebih tepatnya. Hal itu juga membuatku bertanya akhir-akhir ini, "Akankah aku akan berkecimpung dalam dunia ke-Matematika-an ini hingga akhir hayatku?".
Kalian tahu, label Guru Matematika itu apa? Hemat pemahamanku, Matematika jika disematkan di objek apapun, ia akan memiliki kesan yang angker. Hal itu terbukti mungkin dalam hidupmu? Guru yang aku gantikan pun memiliki kesan yang tak jauh berbeda di pikiran anak didikku saat ini, katanya "Beliau galak dan tegas, suasana di kelas menegangkan. Jika tak jawab, mereka kena omel, jika dijawab apalagi jika jawaban salah, mereka diceramahi habis-habisan".
Mungkin alasan selanjutnya yang membawaku dalam hidup yang seperti ini adalah, ketika setiap anak mendapatkan pendidikan sesuai dengan haknya, aku bisa melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Dahulu, aku merasa diriku adalah seseorang yang dengan mudah menjudge-menduga-menghakimi orang lain ini dan itu. Tapi kurasa saat ini, aku tak bisa seperti itu. Dari hidup, aku banyak belajar, bahwasanya, titik mulai setiap orang itu berbeda. Tingkat pemahamannya juga, dan yang pasti, garis kehidupan satu sama lain pun tak ada yang sama.
Menjadi seorang guru dengan anak didik ratusan, memang tak mudah untuk mencurahkan perhatian dan kasih secara menyeluruh. Tapi setidaknya, aku bertekad, bahwa mengerti suatu pelajaran (khususnya Matematika) bukan untuk orang yang pintar saja. Karena sejak dulu, banyak kudapati guru-guru hanya memfasilitasi, membanggakan siswa-siswa yang berprestasi saja, dan aku kini merasakan bagaimana tidak mudahnya untuk berlaku adil ke anak didikku.
Di setiap tingkah kekonyolan atau kenakalan mereka, aku yakin mereka semua adalah anak yang baik terlepas dari seberat apa masalah hidup, lingkungan, atau pola asuh yang membentuknya. Sederhana saja, aku tak ingin Matematika dianggap mematikan, aku hanya ingin mengutarakan ke mereka, kalau mereka juga bisa, walaupun setiap anak punya kesukaan dan daya nalar yang berbeda. Aku hanya tak ingin, mereka menyerah begitu saja dan stigma tersebut terus melekat.
Aku bahagia. Mereka adalah benih-benih asa bagi kehidupannya, aku hanya tak ingin mereka tak dipedulikan hingga berbuat sesukanya. Tapi lagi-lagi, diri mereka sendiri adalah sesuatu yang jauh di luar kendaliku, mereka juga manusia. Tapi aku dapat meminta, mendoakan kepada Zat yang menguasai mereka untuk segala kebaikan mendatang.
"Ya Allah berkahi guru kami, Bu Aulia. Tinggikan ilmu dan derajatnya, jagalah keluarganya, dan pahamkanlah kepada kami, ilmu yang diberikannya." Doa tersebut terlantun setiap harinya dari manusia-manusia yang beranjak dewasa. Jika dihayati lagi, betapa dalam maknanya. Rasanya, ingin sekali aku mengelus kepala mereka satu persatu dan membisikkan, "Terima kasih, nak, semoga Allah senantiasa membimbing langkah kalian."
Setiap peluh dan lelah, semoga dapat terhitung jariyah. Aku pun manusia biasa, pasti banyak salahnya. Ketika kurasa sudah menyampaikan dengan sebaik yang aku bisa, namun hasil mereka masih mengecewakan, seringkali aku
mengutuki diri, "Tak becus, tak mampu mengajar.", namun guru senior menasihatiku, "Saya saja yang belasan tahun, masih suka merasa seperti itu bu, merasa gagal, karena memang seperti itulah khasnya, paling hanya 10 orang yang nilainya memuaskan. Gausah bersedih hati, yang penting kita sudah berusaha memberikan yang terbaik. Kita ga bisa ideal bu dalam penilaian, karena memang kita sudah salah menggunakan parameter penilaian untuk memukul rata penilaian seluruh siswa, padahal jelas mereka tak sama. Pada akhirnya, nurani kita lah yang bermain. Saat ini yg terpenting bagi saya ketika mengajar mereka mah, "Ya Allah semoga ilmu yang saya berikan kelak dapat bemanfaat di kemudian hari." Aku terenyuh.
---
Ya Allah luaskanlah kesabaran bagiku...
"Nak, semoga di pertemuan selanjutnya, kamu sudah jadi orang yang berdaya guna. Titip doakan ibu, ya!"
*Jangan lupa juga untuk terus doakan guru-guru kita.
Labels: Random
Sampai saat ini pun, aku masih bertanya-tanya tentang hidupku.
"Aku? Seorang guru? Serius nih?"
Sangat cepat aku rasa transisi itu. Saat kecil dulu, memang aku suka bermain 'Guru-guruan' dengan adik-adikku, saat kuliah, aku sudah terbiasa menjadi freelancer pengajar privat saja, bukan di institusi resmi dan ternyata sangat jauh berbeda.
Beberapa pertanyaan ini, juga seringkali berputar-putar di pikiranku, "Apa yang sedang aku lakukan?", "Akan sampai kapan aku merantau?", "Apa aku akan terus seperti ini?" sebagai akibat tak langsung dari masa transisi yang kurasa sangat cepat.
Terhitung sudah hampir 5 bulan, seumur jagung. Masih sangat jauh untuk dapat disebut sebagai seorang "Guru". Sampai saat ini pun, aku tak hafal nama dan bentuk wajah mereka secara menyeluruh -hanya sebagian saja-.
Aku pun sering bertanya, "Untuk apa aku seperti ini?", dan "Mengapa aku ada di sini?"
Apakah jawabannya untuk mengisi waktu, mencari pundi-pundi rupiah, atau menggunakan lembar ijazah itu agar berguna? Lalu mengapa memilih di tempat ini? Tempat yg sangat jauh mungkin jika dibilang dengan materi.
Semua, atas pilihan ibuku. Kalian percaya dengan ridha orangtua adalah ridha Allah? Ya, aku percaya. Di episode hidupku sebelumnya, aku telah membuktikan hal tersebut. Sepertinya aku tak cukup berani lagi untuk mencoba hal yang lain.
Aku pikir lagi dan lagi, "Untuk apa?". Jika aku ingin dinilai sebagai seorang nasionalis, pasti akan terjawab dengan mudah, "Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.", ya itu memang ada dalam roadmap kehidupanku, tapi, kejadian hari itu di depan gerbang sekolah membuatku terenyuh. Seorang ayah dengan motor tuanya mengantar dan memberikan bekal untuk putrinya. Lintasan memori masa kecilku menyeruak dalam pikiran. Kalian tahu, roda kehidupan itu dipergilirkan? Kita tak tahu bagaimana kehidupan ia di masa lampau, susah senangnya, tangis tawanya pun masa mendatang.
Aku ingin berbagi sedikit ilmu yang dititipkan secara inklusif tanpa pengecualian, tanpa memandang dia orang berada atau tidak. Itulah juga alasan aku memilih tempat ini (bukan swasta-swasta mentereng yang uang masuknya saja puluhan juta). Dengan berbagai latar belakang kehidupan mereka, mereka berhak mendapat pendidikan yang layak. Di antara profesi-profesi orang tua mereka itu, anak-anak didikku adalah harapan orangtuanya di masa mendatang, lebih jauh, mereka adalah generasi penerus bangsa, penerus peradaban.
Tapi marilah kembali kutarik mundur dari rencana super megah itu, ya, aku adalah Guru. Guru Matematika, lebih tepatnya. Hal itu juga membuatku bertanya akhir-akhir ini, "Akankah aku akan berkecimpung dalam dunia ke-Matematika-an ini hingga akhir hayatku?".
Kalian tahu, label Guru Matematika itu apa? Hemat pemahamanku, Matematika jika disematkan di objek apapun, ia akan memiliki kesan yang angker. Hal itu terbukti mungkin dalam hidupmu? Guru yang aku gantikan pun memiliki kesan yang tak jauh berbeda di pikiran anak didikku saat ini, katanya "Beliau galak dan tegas, suasana di kelas menegangkan. Jika tak jawab, mereka kena omel, jika dijawab apalagi jika jawaban salah, mereka diceramahi habis-habisan".
Mungkin alasan selanjutnya yang membawaku dalam hidup yang seperti ini adalah, ketika setiap anak mendapatkan pendidikan sesuai dengan haknya, aku bisa melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Dahulu, aku merasa diriku adalah seseorang yang dengan mudah menjudge-menduga-menghakimi orang lain ini dan itu. Tapi kurasa saat ini, aku tak bisa seperti itu. Dari hidup, aku banyak belajar, bahwasanya, titik mulai setiap orang itu berbeda. Tingkat pemahamannya juga, dan yang pasti, garis kehidupan satu sama lain pun tak ada yang sama.
Menjadi seorang guru dengan anak didik ratusan, memang tak mudah untuk mencurahkan perhatian dan kasih secara menyeluruh. Tapi setidaknya, aku bertekad, bahwa mengerti suatu pelajaran (khususnya Matematika) bukan untuk orang yang pintar saja. Karena sejak dulu, banyak kudapati guru-guru hanya memfasilitasi, membanggakan siswa-siswa yang berprestasi saja, dan aku kini merasakan bagaimana tidak mudahnya untuk berlaku adil ke anak didikku.
Di setiap tingkah kekonyolan atau kenakalan mereka, aku yakin mereka semua adalah anak yang baik terlepas dari seberat apa masalah hidup, lingkungan, atau pola asuh yang membentuknya. Sederhana saja, aku tak ingin Matematika dianggap mematikan, aku hanya ingin mengutarakan ke mereka, kalau mereka juga bisa, walaupun setiap anak punya kesukaan dan daya nalar yang berbeda. Aku hanya tak ingin, mereka menyerah begitu saja dan stigma tersebut terus melekat.
Aku bahagia. Mereka adalah benih-benih asa bagi kehidupannya, aku hanya tak ingin mereka tak dipedulikan hingga berbuat sesukanya. Tapi lagi-lagi, diri mereka sendiri adalah sesuatu yang jauh di luar kendaliku, mereka juga manusia. Tapi aku dapat meminta, mendoakan kepada Zat yang menguasai mereka untuk segala kebaikan mendatang.
"Ya Allah berkahi guru kami, Bu Aulia. Tinggikan ilmu dan derajatnya, jagalah keluarganya, dan pahamkanlah kepada kami, ilmu yang diberikannya." Doa tersebut terlantun setiap harinya dari manusia-manusia yang beranjak dewasa. Jika dihayati lagi, betapa dalam maknanya. Rasanya, ingin sekali aku mengelus kepala mereka satu persatu dan membisikkan, "Terima kasih, nak, semoga Allah senantiasa membimbing langkah kalian."
Setiap peluh dan lelah, semoga dapat terhitung jariyah. Aku pun manusia biasa, pasti banyak salahnya. Ketika kurasa sudah menyampaikan dengan sebaik yang aku bisa, namun hasil mereka masih mengecewakan, seringkali aku
mengutuki diri, "Tak becus, tak mampu mengajar.", namun guru senior menasihatiku, "Saya saja yang belasan tahun, masih suka merasa seperti itu bu, merasa gagal, karena memang seperti itulah khasnya, paling hanya 10 orang yang nilainya memuaskan. Gausah bersedih hati, yang penting kita sudah berusaha memberikan yang terbaik. Kita ga bisa ideal bu dalam penilaian, karena memang kita sudah salah menggunakan parameter penilaian untuk memukul rata penilaian seluruh siswa, padahal jelas mereka tak sama. Pada akhirnya, nurani kita lah yang bermain. Saat ini yg terpenting bagi saya ketika mengajar mereka mah, "Ya Allah semoga ilmu yang saya berikan kelak dapat bemanfaat di kemudian hari." Aku terenyuh.
---
Ya Allah luaskanlah kesabaran bagiku...
"Nak, semoga di pertemuan selanjutnya, kamu sudah jadi orang yang berdaya guna. Titip doakan ibu, ya!"
*Jangan lupa juga untuk terus doakan guru-guru kita.
Labels: Random
Semangat bu guru
Sangkyu insightnya
Post a Comment