
Melihat Lebih Dekat
20 June, 2022
•
1 comment {s}
Melihat lebih dekat, mendengar lebih banyak, memeluk lebih erat.
Kajian kemarin di Masjid Al-Lathiif, dengan pengisi Umi Siti Muntamah (istri alm. Mang Oded), cukup banyak menyadarkanku mengenai peran perempuan, khususnya merujuk dari salah satu shahabiyah: Khadijah bt Khuwailid yang namanya sudah tak asing di telinga kita semua.
Lagi-lagi tentang perempuan, makhluk unik yang Allah titipkan banyak kelebihan juga kekurangannya. Yang setiap jengkal hidupnya adalah perjuangan. Perempuan yang dari rahimnya anak manusia dibesarkan. Peran perempuan pada kajian ini adalah salah satu yang perlu digarisbawahi, dengan mencontoh Ibunda Khadijah yang dengan seluruh harta bendanya ia rela korbankan demi perjuangan Nabi Muhammad menyebarkan Islam. Dengan segala kesibukannya, tapi masih tetap mampu membuat rumah hangat dengan limpahan cintanya dan yang pasti tak sedikitpun merenggut waktu kebersamaannya dengan Rabbnya.
Katanya, perempuan itu penentu baik buruknya peradaban, menyangkut segala bentuk peranannya dalam kehidupan: sejak ia masih menjadi seorang anak perempuan harus mampu menjaga diri dengan sebaik-baiknya karena ia seberat-berat ujian, ketika menjadi seorang istri ia mampu memberikan ketenangan yang menghangatkan serta support system yang baik bagi suaminya, ketika menjadi seorang ibu perempuan harus menjadi ahli segala.
Berbicara dalam rumah tangga, peran perempuan sangatlah penting dalam mempersiapkan generasi selanjutnya -namun juga tak mengesampingkan peran laki-laki sebagai suami dengan segala tanggung jawabnya-.
Ketika ia mengandung, perempuan harus diperhatikan segala bentuk asupan dan kasih untuknya. Diceritakan oleh beliau, di Finlandia sangat memerhatikan kualitas sumber daya manusia, dimana ada monitoring yang cukup ketat bagi ibu hamil untuk segala asupan dan kegiatan mengasihi (dengan memberikan asi eksklusif hingga 6 bulan), pencegahan stunting, dan perekatan emosi bagi ibu dan anak (bukan hanya diberikan asi melalui pumping).
Perannya sangat penting dalam menjaga kehangatan dan pelimpahan cinta kasih di rumahnya. Terlepas dari segala kodrat juga tuntutan kesetaraan. Perlu diingat, suami juga berperan penting dalam setiap pendidikan anak-anaknya.
***
Hari ini rapat penentuan naik/tinggal kelas di sekolah. Sebagai pengajar, tentu aku ikut. Di sana mataku cukup terbuka lebar atau mungkin malah terbelalak. Ya. Setelah sebelumnya sedikit agak kesal dengan anak-anak yang sangat terlambat mengumpulkan tugas/ulangannya.
Sidang kenaikan kelas 7 dan 8. Di dalamnya dijelaskan mengenai permasalahan beberapa siswa oleh wali kelasnya. Dan yang sangat membuatku miris, sangat miris, adalah karena ketidak utuhan keluarganya. Anak-anak yang bermasalah disebabkan oleh kondisi kedua orang tuanya yang telah berpisah, meninggal, atau karena kekurangan ekonomi.
"Bapak ibu, mohon ijin saya menjelaskan. Saya sudah melakukan home visit (kunjungan ke rumah) dengan guru BK. Kondisinya cukup memprihatinkan. Dia tidak mau berkomunikasi dengan kami. Ketika kami ke kamarnya, rambutnya gondrong, tak mau mandi, dan tak mau menghadap ke arah kami. Ayahnya seorang buruh lepas, ibunya seorang asisten rumah tangga yang menderita sakit (infeksi) di kakinya. Sudah kami panggil orangtuanya tapi tidak hadir, dan katanya hari ini ibunya akan mengusahakan hadir walaupun kondisinya sulit untuk berjalan. Semester genap ini, ia tak pernah masuk. Nilai-nilainya kosong." Ujar salah satu wali kelas menjelaskan.
Ia adalah salah satu murid yang aku ajar di kelas 7. Sejak pertemuan pertama hingga terakhir, jarang sekali aku temukan ia hadir di kelas ketika mengabsen.
"Sepertinya ia udah masuk kategori depresi berat bu, baiknya kita berikan pendampingan ke psikiater atau psikolog." Timpal seorang bapak guru.
***
Dan laporan anak-anak yang bermasalah pun dipergilirkan.
"Ayahnya meninggal, ibunya sibuk kerja. Jadi ia tidak diperhatikan."
"Ayah ibunya bercerai. Pernah ada kondisi, ibunya bilang dia ada di ayahnya, ayahnya bilang ada di ibunya. Si anak tidak ada di rumah kedua orangtuanya. Akhirnya ia memilih ke bibi atau neneknya."
"Kata ibunya, saya sudah ga sanggup lagi menangani anak itu, saya serahkan ke ibu bapak di sekolah, terserah mau dibagaimanakan, tinggal kelas pun tak apa."
"Ayahnya di Garut, ibunya di Bandung bekerja. Kata ayahnya dulu saat SD bersama ayahnya, dia adalah anak yang baik. Sekarang ia merasa rendah diri karena sudah lama tak hadir ke sekolah, ayahnya meminta agar ia dinaikkan ke kelas selanjutnya, ayahnya akan menjamin kalau si anak akan lebih baik lagi. Ayahnya sangat memohon, bu, pak."
"Anak itu jadi joki game. Sejak dari jam 10 malam sampai jam 10 pagi, dia dapat penghasilan dari sana bahkan sampai diiklankan. Lumayan setiap harinya bisa dapat hingga 150 ribu."
"Uangnya untuk membantu orang tua?"
"Saat saya tanya, uangnya tidak diberikan ke orang tua. Untuk jajan anak tersebut."
"Dia punya catatan kriminal karena bergabung dengan geng. Harap jadi perhatian, untuk nilai, dia sudah aman."
***
"Bu, sebenarnya penentuan kita sekarang, berpengaruh juga dengan penentuan masa depan mereka. Nilai mah gampang, tapi karakter dan proses yang paling penting dalam pembelajaran. Sok saya mau kasih 1000 juga mangga." Celoteh salah seorang guru kepadaku.
"Bu, kenapa ya, orang tua dengan mudahnya mengucapkan kata cerai?" Tanyaku.
"Nah itu dia. Saya pernah kasih konseling rumah tangga saat orang tua menghadap ke saya. "Kalian tuh harusnya kalau bercerai, yasudah urusan kalian selesai. Tidak ada dendam, tidak ungkit masa lalu. Ketika bertemu ya yang dibahas adalah anak. Bukan yang lain."" Ceritanya kepadaku.
Ketahanan rumah tangga. Pantas saja banyak ibu-ibu yang menyuarakan itu. Sedangkan gerakan-gerakan pemikiran di luar sana, sangat anti dengan rumah tangga yang harmonis. Rumah tangga yang damai, tenang, dan menjadi support system antar anggota keluarga yang mampu mengajak bertumbuh.
"Tanggung jawab suami biarlah menjadi kewajibannya, istri pun ada tanggung jawabnya sendiri. Tentang kesetaraan, lihat bagaimana jika peran suami diambil alih oleh istri." Kata Umi Siti di kajian kemarin.
Mungkin ini sangat terasa bagi para single mom, dan pagi tadi aku mendapat laporannya ketika para ibu sibuk bekerja, akhirnya, anak-anaknya kurang diperhatikan setiap tumbuh kembangnya. Laki-laki, kalian harus bertanggung jawab, karena kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat mengenai istri dan anak-anaknya adalah kalian sebagai kepala keluarga.
Mungkin aku hanya bisa menulis saja, karena belum mengalami bagaimana biduk rumah tangga. Tapi agaknya pengalaman ini, memberikan kesan yang cukup mendalam bagiku kelak.
***
Pagi tadi, aku dibuat kesal oleh seorang anak murid karena lagi-lagi menanyakan tugas, padahal sudah berkali-kali aku list dan tuliskan di grup. Awalnya tak kulayani. Tapi aku kasihan juga melihat perjuangannya (walaupun berjuang keras di akhir).
Anak itu datang menghadap ke guru yang lain, dan kena omel karena tak menggunakan seragam sekolah. Dia mengatakan seragamnya dicuci dan sontak jadi bahan tertawaan guru yang lain. Ternyata, ia bantu mencucikan pakaian di rumahnya dan membantu orangtuanya berjualan es. Ia menangis, anak itu laki-laki.
"Sudah tidak apa-apa, ibu juga dulu jualan es kok. Gausah malu."
Aku yang tadinya kesal, mendengar itu, menjadi sangat terenyuh. Dan memori masa kecilku pun hadir tanpa diundang. Rasanya ingin kupeluk anak tersebut erat-erat.
Kuhampiri ia di kelas saat menyelesaikan tugas yang lain.
"Tugas matematikanya sudah selesai?"
"Sudah bu." Jawabnya sembari masih menahan lendir hidungnya agar tak keluar.
"Kenapa? Lagi pilek? Atau nangis?"
"Iya bu, tadi sempat nangis."
"Ini bisa, sebenarnya kamu bisa. Gapapa, jadi pelajaran buat nanti di kelas 8, jangan menunda-nunda tugas ya. Harus mampu bertanggung jawab dengan diri sendiri." Celotehku padanya sembari kuberikan nilai 100.
"Iya bu, terima kasih bu."
Dan pemandangan pagi itu, membuat hatiku sangat terenyuh. Entah mengapa aku merasa terbawa perasaan, melihat para orang tua yang hilir mudik mencari guru untuk membantu menyelesaikan tugas anaknya. Aku tak bisa membayangkan jika posisi itu adalah orang tuaku. Tak tega. Ditambah mungkin mereka bukan dari keluarga yang berada. Anak merekalah yang disekolahkan yang mampu menjadi penyambung asa keluarganya.
Tapi, nak. Tolong ya kalian rajin gitu loh, jangan yang neko-neko.
Dan kembali lagi, atas setiap keputusan atau tindakan, pasti selalu ada alasan atau motif di belakangnya.
Hhh tentang anak-anak, aku suka sekali dengan mereka, tadi ada dede Fatih, anak guru matematika lain. Lucu sekali. Kalau lihat anak bayi ingin sekali menggendong mereka hwawawawa. Ternyata dede Fatih tidak mau digendong dengan orang baru, tapi mau digendong aku:) begitu juga sempat ada anak guru lain yang seperti itu hehe. *tambahan bahasan hehe.
Inti dari semua yang aku ceritakan, keluarga amat sangat berperan dalam tumbuh kembang anak-anaknya sebagai calon penerus bangsa kelak, selain itu adalah tentang ketaqwaan yang ditanamkan sejak dini. Ini memegang peran yang sangat penting. Orangtua tak selamanya mampu membersamai, ia harus survive dengan kehidupannya. Dengan bekal taqwa, hidupnya akan selamat, sesulit apapun.
{ وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا }
[سُورَةُ النِّسَاءِ: 9]
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
***
Hari ini cukup membelajarkan. Membuatku tersadar, sudah sejauh mana aku dalam mempersiapkan?
Melihat lebih dekat, mendengar lebih banyak, memeluk lebih erat.
Kajian kemarin di Masjid Al-Lathiif, dengan pengisi Umi Siti Muntamah (istri alm. Mang Oded), cukup banyak menyadarkanku mengenai peran perempuan, khususnya merujuk dari salah satu shahabiyah: Khadijah bt Khuwailid yang namanya sudah tak asing di telinga kita semua.
Lagi-lagi tentang perempuan, makhluk unik yang Allah titipkan banyak kelebihan juga kekurangannya. Yang setiap jengkal hidupnya adalah perjuangan. Perempuan yang dari rahimnya anak manusia dibesarkan. Peran perempuan pada kajian ini adalah salah satu yang perlu digarisbawahi, dengan mencontoh Ibunda Khadijah yang dengan seluruh harta bendanya ia rela korbankan demi perjuangan Nabi Muhammad menyebarkan Islam. Dengan segala kesibukannya, tapi masih tetap mampu membuat rumah hangat dengan limpahan cintanya dan yang pasti tak sedikitpun merenggut waktu kebersamaannya dengan Rabbnya.
Katanya, perempuan itu penentu baik buruknya peradaban, menyangkut segala bentuk peranannya dalam kehidupan: sejak ia masih menjadi seorang anak perempuan harus mampu menjaga diri dengan sebaik-baiknya karena ia seberat-berat ujian, ketika menjadi seorang istri ia mampu memberikan ketenangan yang menghangatkan serta support system yang baik bagi suaminya, ketika menjadi seorang ibu perempuan harus menjadi ahli segala.
Berbicara dalam rumah tangga, peran perempuan sangatlah penting dalam mempersiapkan generasi selanjutnya -namun juga tak mengesampingkan peran laki-laki sebagai suami dengan segala tanggung jawabnya-.
Ketika ia mengandung, perempuan harus diperhatikan segala bentuk asupan dan kasih untuknya. Diceritakan oleh beliau, di Finlandia sangat memerhatikan kualitas sumber daya manusia, dimana ada monitoring yang cukup ketat bagi ibu hamil untuk segala asupan dan kegiatan mengasihi (dengan memberikan asi eksklusif hingga 6 bulan), pencegahan stunting, dan perekatan emosi bagi ibu dan anak (bukan hanya diberikan asi melalui pumping).
Perannya sangat penting dalam menjaga kehangatan dan pelimpahan cinta kasih di rumahnya. Terlepas dari segala kodrat juga tuntutan kesetaraan. Perlu diingat, suami juga berperan penting dalam setiap pendidikan anak-anaknya.
***
Hari ini rapat penentuan naik/tinggal kelas di sekolah. Sebagai pengajar, tentu aku ikut. Di sana mataku cukup terbuka lebar atau mungkin malah terbelalak. Ya. Setelah sebelumnya sedikit agak kesal dengan anak-anak yang sangat terlambat mengumpulkan tugas/ulangannya.
Sidang kenaikan kelas 7 dan 8. Di dalamnya dijelaskan mengenai permasalahan beberapa siswa oleh wali kelasnya. Dan yang sangat membuatku miris, sangat miris, adalah karena ketidak utuhan keluarganya. Anak-anak yang bermasalah disebabkan oleh kondisi kedua orang tuanya yang telah berpisah, meninggal, atau karena kekurangan ekonomi.
"Bapak ibu, mohon ijin saya menjelaskan. Saya sudah melakukan home visit (kunjungan ke rumah) dengan guru BK. Kondisinya cukup memprihatinkan. Dia tidak mau berkomunikasi dengan kami. Ketika kami ke kamarnya, rambutnya gondrong, tak mau mandi, dan tak mau menghadap ke arah kami. Ayahnya seorang buruh lepas, ibunya seorang asisten rumah tangga yang menderita sakit (infeksi) di kakinya. Sudah kami panggil orangtuanya tapi tidak hadir, dan katanya hari ini ibunya akan mengusahakan hadir walaupun kondisinya sulit untuk berjalan. Semester genap ini, ia tak pernah masuk. Nilai-nilainya kosong." Ujar salah satu wali kelas menjelaskan.
Ia adalah salah satu murid yang aku ajar di kelas 7. Sejak pertemuan pertama hingga terakhir, jarang sekali aku temukan ia hadir di kelas ketika mengabsen.
"Sepertinya ia udah masuk kategori depresi berat bu, baiknya kita berikan pendampingan ke psikiater atau psikolog." Timpal seorang bapak guru.
***
Dan laporan anak-anak yang bermasalah pun dipergilirkan.
"Ayahnya meninggal, ibunya sibuk kerja. Jadi ia tidak diperhatikan."
"Ayah ibunya bercerai. Pernah ada kondisi, ibunya bilang dia ada di ayahnya, ayahnya bilang ada di ibunya. Si anak tidak ada di rumah kedua orangtuanya. Akhirnya ia memilih ke bibi atau neneknya."
"Kata ibunya, saya sudah ga sanggup lagi menangani anak itu, saya serahkan ke ibu bapak di sekolah, terserah mau dibagaimanakan, tinggal kelas pun tak apa."
"Ayahnya di Garut, ibunya di Bandung bekerja. Kata ayahnya dulu saat SD bersama ayahnya, dia adalah anak yang baik. Sekarang ia merasa rendah diri karena sudah lama tak hadir ke sekolah, ayahnya meminta agar ia dinaikkan ke kelas selanjutnya, ayahnya akan menjamin kalau si anak akan lebih baik lagi. Ayahnya sangat memohon, bu, pak."
"Anak itu jadi joki game. Sejak dari jam 10 malam sampai jam 10 pagi, dia dapat penghasilan dari sana bahkan sampai diiklankan. Lumayan setiap harinya bisa dapat hingga 150 ribu."
"Uangnya untuk membantu orang tua?"
"Saat saya tanya, uangnya tidak diberikan ke orang tua. Untuk jajan anak tersebut."
"Dia punya catatan kriminal karena bergabung dengan geng. Harap jadi perhatian, untuk nilai, dia sudah aman."
***
"Bu, sebenarnya penentuan kita sekarang, berpengaruh juga dengan penentuan masa depan mereka. Nilai mah gampang, tapi karakter dan proses yang paling penting dalam pembelajaran. Sok saya mau kasih 1000 juga mangga." Celoteh salah seorang guru kepadaku.
"Bu, kenapa ya, orang tua dengan mudahnya mengucapkan kata cerai?" Tanyaku.
"Nah itu dia. Saya pernah kasih konseling rumah tangga saat orang tua menghadap ke saya. "Kalian tuh harusnya kalau bercerai, yasudah urusan kalian selesai. Tidak ada dendam, tidak ungkit masa lalu. Ketika bertemu ya yang dibahas adalah anak. Bukan yang lain."" Ceritanya kepadaku.
Ketahanan rumah tangga. Pantas saja banyak ibu-ibu yang menyuarakan itu. Sedangkan gerakan-gerakan pemikiran di luar sana, sangat anti dengan rumah tangga yang harmonis. Rumah tangga yang damai, tenang, dan menjadi support system antar anggota keluarga yang mampu mengajak bertumbuh.
"Tanggung jawab suami biarlah menjadi kewajibannya, istri pun ada tanggung jawabnya sendiri. Tentang kesetaraan, lihat bagaimana jika peran suami diambil alih oleh istri." Kata Umi Siti di kajian kemarin.
Mungkin ini sangat terasa bagi para single mom, dan pagi tadi aku mendapat laporannya ketika para ibu sibuk bekerja, akhirnya, anak-anaknya kurang diperhatikan setiap tumbuh kembangnya. Laki-laki, kalian harus bertanggung jawab, karena kelak yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat mengenai istri dan anak-anaknya adalah kalian sebagai kepala keluarga.
Mungkin aku hanya bisa menulis saja, karena belum mengalami bagaimana biduk rumah tangga. Tapi agaknya pengalaman ini, memberikan kesan yang cukup mendalam bagiku kelak.
***
Pagi tadi, aku dibuat kesal oleh seorang anak murid karena lagi-lagi menanyakan tugas, padahal sudah berkali-kali aku list dan tuliskan di grup. Awalnya tak kulayani. Tapi aku kasihan juga melihat perjuangannya (walaupun berjuang keras di akhir).
Anak itu datang menghadap ke guru yang lain, dan kena omel karena tak menggunakan seragam sekolah. Dia mengatakan seragamnya dicuci dan sontak jadi bahan tertawaan guru yang lain. Ternyata, ia bantu mencucikan pakaian di rumahnya dan membantu orangtuanya berjualan es. Ia menangis, anak itu laki-laki.
"Sudah tidak apa-apa, ibu juga dulu jualan es kok. Gausah malu."
Aku yang tadinya kesal, mendengar itu, menjadi sangat terenyuh. Dan memori masa kecilku pun hadir tanpa diundang. Rasanya ingin kupeluk anak tersebut erat-erat.
Kuhampiri ia di kelas saat menyelesaikan tugas yang lain.
"Tugas matematikanya sudah selesai?"
"Sudah bu." Jawabnya sembari masih menahan lendir hidungnya agar tak keluar.
"Kenapa? Lagi pilek? Atau nangis?"
"Iya bu, tadi sempat nangis."
"Ini bisa, sebenarnya kamu bisa. Gapapa, jadi pelajaran buat nanti di kelas 8, jangan menunda-nunda tugas ya. Harus mampu bertanggung jawab dengan diri sendiri." Celotehku padanya sembari kuberikan nilai 100.
"Iya bu, terima kasih bu."
Dan pemandangan pagi itu, membuat hatiku sangat terenyuh. Entah mengapa aku merasa terbawa perasaan, melihat para orang tua yang hilir mudik mencari guru untuk membantu menyelesaikan tugas anaknya. Aku tak bisa membayangkan jika posisi itu adalah orang tuaku. Tak tega. Ditambah mungkin mereka bukan dari keluarga yang berada. Anak merekalah yang disekolahkan yang mampu menjadi penyambung asa keluarganya.
Tapi, nak. Tolong ya kalian rajin gitu loh, jangan yang neko-neko.
Dan kembali lagi, atas setiap keputusan atau tindakan, pasti selalu ada alasan atau motif di belakangnya.
Hhh tentang anak-anak, aku suka sekali dengan mereka, tadi ada dede Fatih, anak guru matematika lain. Lucu sekali. Kalau lihat anak bayi ingin sekali menggendong mereka hwawawawa. Ternyata dede Fatih tidak mau digendong dengan orang baru, tapi mau digendong aku:) begitu juga sempat ada anak guru lain yang seperti itu hehe. *tambahan bahasan hehe.
Inti dari semua yang aku ceritakan, keluarga amat sangat berperan dalam tumbuh kembang anak-anaknya sebagai calon penerus bangsa kelak, selain itu adalah tentang ketaqwaan yang ditanamkan sejak dini. Ini memegang peran yang sangat penting. Orangtua tak selamanya mampu membersamai, ia harus survive dengan kehidupannya. Dengan bekal taqwa, hidupnya akan selamat, sesulit apapun.
{ وَلۡيَخۡشَ ٱلَّذِينَ لَوۡ تَرَكُواْ مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةٗ ضِعَٰفًا خَافُواْ عَلَيۡهِمۡ فَلۡيَتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡيَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدًا }
[سُورَةُ النِّسَاءِ: 9]
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.
***
Hari ini cukup membelajarkan. Membuatku tersadar, sudah sejauh mana aku dalam mempersiapkan?
Terima kasih sudah menuliskan hal ini. Jazakillah khair:)
Post a Comment