
Laut Lepas
12 July, 2022
•
0 comment {s}
Katanya, manusia itu seperti lautan, ya?
Yang kita temui selama ini, hanyalah pantainya saja. Tempat dimana bisa berlarian di pasirnya dengan macam-macam warnanya: putih bersih, cokelat keemasan, atau bahkan hitam legam. Bisa juga sesekali bermain dengan deburan ombak di bibir pantainya sembari menikmati nyiur dan sepoi angin, menunggu senja tiba. Bahkan bisa juga berenang dan menyelami keanekaragaman hayati, ekosistem pantainya.
Jangan berenang terlalu jauh apalagi mencoba untuk menyelam lebih dalam! Jangan sampai melewati batas pantainya! Tidakkah kamu lihat tanda bahaya pada papan itu? Kamu tak tahu ada apa di laut lepas itu. Mungkin di sana ada ombak yang sedang menggulung dengan hebatnya, ada arus air yang begitu kuat menarik hingga pusarannya, ada badai yang berkecamuk di tengah lautnya, ada gunung berapi aktif yang siap memuntahkan magmanya, ada lempengan tanah yang hendak bertabrakan menyebabkan gelombang besar (tsunami), oh atau mungkin saja ada penunggu lautan yang siap menerkammu? Jangan jauh-jauh ke sana, apakah dirimu sendiri akan aman tanpa adanya alat selam yang lengkap dan mutakhir? Pun jika ada, kapasitas tabung oksigenmu tak banyak. Apalagi jika tidak? Belum sampai ke tengahnya pun, kamu pasti sudah mati karena kehabisan oksigen, sehebat apapun kemampuan berenangmu.
Berusaha menyusuri laut lepas yang semakin dalam, pekat, serta dingin, dengan atau tanpa alasan itu untuk apa? Apa kamu ingin melihat lebih banyak lagi terumbu karang yang indah beserta warna-warni ikan di dalamnya? Apa kamu ingin mencari korban tenggelamnya Kapal van der Wijck? Atau kamu sedang berusaha menemukan Kota Atlantis yang hilang? Untuk apa? Jangan pernah lagi lewati batas teritorialmu, ke laut manapun. Tak perlu bersusah payah untuk apapun.
Lautmu sendiri pun belum cukup aman untuk diselami maupun dijadikan jalur kapal berlayar. Amankan saja penghuni di dalamnya, rawat saja keanekaragaman hayati di dalamnya hingga tak hanya di pantai saja mereka mampu melihat keindahannya. Kondisikan pula ombak-ombak yang menggulung dan arus yang deras itu. Begitu pula cuacanya, hujan badai atau terik menyengat? Gunung berapimu pun aktif bergejolak di dalamnya, kan? Siap untuk mengalirkan lahar panas. Tahan ia supaya tak menumpahkannya, alirkan saja ke bagian laut yang lain, yang lebih dalam, apa bisa? Atur juga lempengan tanahmu itu agar tak terjadi tabrakan yang mampu menimbulkan tsunami, membuat para pengunjung pantaimu kocar-kacir ketakutan, atau mungkin bakal merenggut satu dua dari orang yang dicintainya?
Jangan, jangan begitu lautku.
Tunggu, bagaimana jika pantaiku pun masih rusak?
Tak hanya lautmu, pantaimu juga sama. Karena itu adalah wajahmu di hadapan orang lain. Mampu atau tidak menarik orang lain agar senantiasa tersenyum bahagia saat berlarian di pasir pantaimu, rawatlah pantaimu itu, amankan segala duri dari pantaimu agar tak menusuk orang-orang yang sedang berlarian atau berenang. Walau mereka belum mampu untuk menyelami kedalaman lautmu, tapi setidaknya mereka telah mengenali zona pantaimu yang aman dan bersahabat.
Bagaimana jika laut dan pantaiku tak mampu berbuat demikian?
Jangan, jangan mendekat. Cukup lihat saja orkestra setiap kejadian alamnya dari radius yang cukup hingga kamu merasa aman.
Lalu apakah aku yang akan mati tenggelam dalam lautmu? Atau justru lautmu yang mati karena kurusak keseimbangannya?
Hai sadar! Kamu terlalu gegabah untuk menyamakan dua karya terbaik hasil dari penciptaan-Nya. Mereka berbeda, tak bisa disamakan. Oh ya, bukankah kita memang takkan pernah mengetahui apapun? Teruslah berjalan dan berjuang, hingga mungkin kita akan berpapasan kembali? Entah di persimpangan yang mana. Jika tidak pun, tak apa, kan?
Katanya, manusia itu seperti lautan, ya?
Yang kita temui selama ini, hanyalah pantainya saja. Tempat dimana bisa berlarian di pasirnya dengan macam-macam warnanya: putih bersih, cokelat keemasan, atau bahkan hitam legam. Bisa juga sesekali bermain dengan deburan ombak di bibir pantainya sembari menikmati nyiur dan sepoi angin, menunggu senja tiba. Bahkan bisa juga berenang dan menyelami keanekaragaman hayati, ekosistem pantainya.
Jangan berenang terlalu jauh apalagi mencoba untuk menyelam lebih dalam! Jangan sampai melewati batas pantainya! Tidakkah kamu lihat tanda bahaya pada papan itu? Kamu tak tahu ada apa di laut lepas itu. Mungkin di sana ada ombak yang sedang menggulung dengan hebatnya, ada arus air yang begitu kuat menarik hingga pusarannya, ada badai yang berkecamuk di tengah lautnya, ada gunung berapi aktif yang siap memuntahkan magmanya, ada lempengan tanah yang hendak bertabrakan menyebabkan gelombang besar (tsunami), oh atau mungkin saja ada penunggu lautan yang siap menerkammu? Jangan jauh-jauh ke sana, apakah dirimu sendiri akan aman tanpa adanya alat selam yang lengkap dan mutakhir? Pun jika ada, kapasitas tabung oksigenmu tak banyak. Apalagi jika tidak? Belum sampai ke tengahnya pun, kamu pasti sudah mati karena kehabisan oksigen, sehebat apapun kemampuan berenangmu.
Berusaha menyusuri laut lepas yang semakin dalam, pekat, serta dingin, dengan atau tanpa alasan itu untuk apa? Apa kamu ingin melihat lebih banyak lagi terumbu karang yang indah beserta warna-warni ikan di dalamnya? Apa kamu ingin mencari korban tenggelamnya Kapal van der Wijck? Atau kamu sedang berusaha menemukan Kota Atlantis yang hilang? Untuk apa? Jangan pernah lagi lewati batas teritorialmu, ke laut manapun. Tak perlu bersusah payah untuk apapun.
Lautmu sendiri pun belum cukup aman untuk diselami maupun dijadikan jalur kapal berlayar. Amankan saja penghuni di dalamnya, rawat saja keanekaragaman hayati di dalamnya hingga tak hanya di pantai saja mereka mampu melihat keindahannya. Kondisikan pula ombak-ombak yang menggulung dan arus yang deras itu. Begitu pula cuacanya, hujan badai atau terik menyengat? Gunung berapimu pun aktif bergejolak di dalamnya, kan? Siap untuk mengalirkan lahar panas. Tahan ia supaya tak menumpahkannya, alirkan saja ke bagian laut yang lain, yang lebih dalam, apa bisa? Atur juga lempengan tanahmu itu agar tak terjadi tabrakan yang mampu menimbulkan tsunami, membuat para pengunjung pantaimu kocar-kacir ketakutan, atau mungkin bakal merenggut satu dua dari orang yang dicintainya?
Jangan, jangan begitu lautku.
Tunggu, bagaimana jika pantaiku pun masih rusak?
Tak hanya lautmu, pantaimu juga sama. Karena itu adalah wajahmu di hadapan orang lain. Mampu atau tidak menarik orang lain agar senantiasa tersenyum bahagia saat berlarian di pasir pantaimu, rawatlah pantaimu itu, amankan segala duri dari pantaimu agar tak menusuk orang-orang yang sedang berlarian atau berenang. Walau mereka belum mampu untuk menyelami kedalaman lautmu, tapi setidaknya mereka telah mengenali zona pantaimu yang aman dan bersahabat.
Bagaimana jika laut dan pantaiku tak mampu berbuat demikian?
Jangan, jangan mendekat. Cukup lihat saja orkestra setiap kejadian alamnya dari radius yang cukup hingga kamu merasa aman.
Lalu apakah aku yang akan mati tenggelam dalam lautmu? Atau justru lautmu yang mati karena kurusak keseimbangannya?
Hai sadar! Kamu terlalu gegabah untuk menyamakan dua karya terbaik hasil dari penciptaan-Nya. Mereka berbeda, tak bisa disamakan. Oh ya, bukankah kita memang takkan pernah mengetahui apapun? Teruslah berjalan dan berjuang, hingga mungkin kita akan berpapasan kembali? Entah di persimpangan yang mana. Jika tidak pun, tak apa, kan?
Post a Comment