Hari ini aku iseng donor darah (merealisasikan niat sejak awal tahun 2022).
"Agenda utamaku hari ini adalah ke Tamansari, ah sekalian aja pulangnya donor darah!" Aku memekik kegirangan ketika tahu PMI Kota Bandung tak jauh dari tempatku mengajar. Ah kurasa Bandung Wetan ini adalah surga, karena berada di pusat kota. Bersyukur lagi ya, Aul.
Setelah tuntas, aku langsung ke Jalan Aceh, tapi harus tersasar dulu seperti biasa hingga harus memutar jalan hehe:)
Tiba di sana, bingung dong aku, karena sebelumnya (ini donorku yang ke-3 kalinya) petugas PMI yang hadir (1 di kampus, 1 di Masjid At-Taqwa KPAD). Setelah cek kelengkapan: tensi aman (110/70), berat dan tinggi badan aman, kadar hemoglobin aman. Akhirnya, aku dipanggil masuk ke ruangan.
"Pembuluh darahnya tipis sekali dan kecil, semoga bisa ya." Ujarnya sembari menusukkan jarum ke pergelangan tangan kananku.
"Aw, sakit!"
"Tahan dulu, ya."
Aku hanya mengangguk tanda setuju.
"Ini donor yang ke berapa? Pertama?"
"Engga, ini yang ke-3. Tapi donor terakhir tahun 2020 lalu."
"Darahnya keluar pelan, karena pembuluh darahnya kecil. Coba tangannya diremas pelan-pelan."
Aku pun menuruti.
Lebih dari setengah jam, ternyata belum selesai juga memenuhi kantung darah.
"Ayo teh, teteh pasti bisa, sedikit lagi! Soalnya sayang, kalau kurang dari 1 labu, bisa tidak terpakai."
"Jangan, harus bisa. Kurang berapa lagi?"
"20 cc lagi."
Jari-jari tanganku kesemutan, kepalaku pusing sekali, badanku lemas sampai meremas tangan pun terasa tak berdaya wkwk.
"Dokter," Panggilku lemah.
"Pusing ya? Lemas?", aku hanya bisa mengangguk.
Diturunkannya posisi ranjang, sehingga posisiku dari tegak menjadi seperti berbaring.
"Masih pusing?"
"Ga terlalu."
Sampai akhirnya selesai.
"Sudah ya."
"Tapi ko, (alatnya) gak bunyi?" Tanyaku penasaran.
"Iya saya jadikan manual saja, soalnya lebih dari 10 menit."
"Tapi darahku bisa digunakan?"
"Bisa, makanya tadi saya minta teteh buat bertahan sampai penuh." Ujarnya sembari melepas labu darah dan membawanya ke tempat pendingin.
"Alhamdulillah." Ucapku dalam hati.
Setelah itu aku diberi teh hangat.
"Teh masih pusing ga? Teteh pucat banget", aku menggelengkan kepala. Dinaikkan ranjang menjadi posisi duduk.
"Jadi pusing." Akhirnya diturunkan kembali posisi ranjang tersebut entah hingga berapa kali percobaan.
"Tetehnya ke sini sama siapa?"
"Sendiri."
"Naik apa? Bawa kendaraan sendiri?"
"Iya."
"Watir ih, teteh lagi ga buru-buru kan ya? Di sini dulu sampai ga pusing lagi." Beliau pun memanggilkan dokter untuk mengecek tensiku.
"90/70. Rendah banget. Pantes pusing. Tadi awal di tensi berapa?"
"110/70, dok."
"Yaudah istirahat dulu."
Petugas yang melayani donorku tadi, membawakan tabung oksigen dan memakaikan selangnya. Membuatku bertanya-tanya.
"Untuk apa?"
"Tetehnya pucat banget. Dibantu dengan tabung oksigen ya biar bisa mengalir ke bagian tubuh yang lain. Semoga bisa membantu dan tetehnya ga pingsan". Aku menurut saja.
Hingga entah menit ke berapa selanjutnya, akhirnya aku merasa agak baikan.
"Teh, nanti diantar saja sama satpam ya!" Awalnya aku bingung, takut merepotkan saja.
"Saya naik ojol saja, pak kalau tidak kuat."
Setelah istirahat cukup lama, akhirnya aku diminta buat coba berjalan ke luar, sambil merasakan apakah masih pusing atau tidak.
Alhamdulillah, aku bisa hingga mengambil snack, minum susu dan memakannya. Anehnya, orangtuaku tahu saja. Saat masih di ruangan, beliau menelponku, dan setelah di luar ruangan pun kembali menelpon.
"Kamu sendirian, malem-malem juga, malah donor. Kan darah kamu juga rendah, Lia." Yaa diceramahi keduanya:)
---
Aku hanya teringat kisah 12 tahun silam. Saat itu, aku masih duduk di kelas 1. Kabar padeku (kakak dari ayahku) kecelakaan saat dalam perjalanan ke Garut. Beliau dilarikan ke rumah sakit di daerah Moh. Toha. Waktu itu aku masih kecil, ayah dan ibuku menemani bude ke RS tersebut bersama dengan anaknya yang seumuran denganku. Waktu itu aku masih kecil, tapi aku masih ingat beberapa rekam kejadiannya.
Ayah dan ibuku adalah dua orang yang dimintai pertolongan oleh budeku. Maklum, kakak-kakak beliau yang lain ada di Jawa, tak memungkinkan untuk memberi tindakan cepat. Akhirnya kami diboyong semua ke Bandung.
Kondisinya sangat parah. Kami tak mengenalinya, karena muka pade penuh memar dan luka, aroma ruangannya pun campur-campur. Terdengar rintihan saling bersahutan. Hanya budeku yang mengenali dari bajunya.
Singkat cerita, di sini yang aku garis bawahi adalah perjuangan adiknya (ayahku) dalam mengurus segala administrasi, perobatan, hingga kantung darah. Saat itu beliau menceritakan harus ke RS. Immanuel, lalu ke PMI Kota Bandung di Jalan Aceh.
"Yaa sekarang aku di tempat itu, bi! Di Jalan Aceh."
Yang setelah lama kutinggal di Bandung, perjalanan dari Moh. Toha - RS. Immanuel - PMI Kota Bandung itu terbilang jauh. Sangat jauh. Apalagi dulu belum ada transportasi online. Beliau naik angkot, menyusuri jalanan kota untuk mendapatkan kantong darah bagi kakaknya. Dengan notabene bukan warga lokal.
Begitu juga ibuku, yang turut menemani budeku dan kami (anak-anaknya) yang harus rela hingga tertidur mengemper di lorong rumah sakit. Keputusannya, salah satu kaki pade harus diamputasi.
Aku ingat betul. Ada serombongan keluarga jauh dari ayahku yang menetap di Bandung, di Rancaekek untuk menengok kami dengan rutin. Kebaikan itu, masih terekam dalam otakku hingga hari ini.
Cerita tentang kantung darah, juga dulu diperlukan oleh almh. Budeku, entah harus berapa kali transfusi darah agar kadar hemoglobinnya naik, hingga akhirnya beliau mengembuskan napas terakhir ketika pulang ke rumah, dan dulu ibuku yang hampir kehabisan darah karena pendarahan setelah melahirkan. Oleh sebab itu, aku merasa donor darah itu sangat-sangat mampu membantu nyawa orang lain.
---
Selain ayahku, tak berbeda pula dengan ibuku, yang selalu menolong dan berbuat baik pada orang lain, baik itu yang diketahui ataupun tidak.
Kedua orang tuaku adalah tumpuan bagi keluarga mereka masing-masing. Aku paham betul. Sempat aku bertanya seperti ini,
"Mi, kenapa sih umi sama abi baik banget ke orang? Giliran kita dalam masalah, kesulitan, orang lain gaada tuh yang bantuin kita. Udah gausah peduliin mereka."
"Ya, kita harus menolong orang lain dalam kesulitannya. Karena ketika dalam kesenangan, kelimpahan, banyak orang-orang yang mendekat. Tetapi jika dalam keadaan sulit? Sedikit sekali orang yang mau mendekat. Mereka itu manusia, kita harus bantu. Karena orang yang tulus itu akan ada tak hanya dalam sukanya, tapi juga dukanya."
Jleb. Aku tahu, tahu sekali orang yang dimaksud dalam pembicaraan itu. Kedua orang tuaku dengan sukarela pergi jauh untuk memberikan kelengkapan yang diperlukan bagi orang tersebut, dan ketika sampai sana harus terpaksa langsung pulang karena kondisi saat itu masih pandemi, tak boleh menemui.
Walaupun kedua orangtuaku masih juga memiliki kekurangan, begitupun aku sebagai manusia, dari mereka aku belajar akan kebaikan-kebaikan kecil yang dilakukan. Mereka adalah pahlawan bagi anak-anaknya.
Begitu pula aku yang terinspirasi. Atas segala kebaikan walau kecil, yang dapat kulakukan, semoga dapat menjadi amal, selain itu, semoga kebaikan tersebut kelak akan berbuah di saat keluargaku (orangtua, adik-adiku, bahkan diriku) dalam posisi yang butuh pertolongan, semoga jikapun aku belum mampu menolong, banyak manusia berhati malaikat yang mampu mengulurkan tangannya memberi pertolongan.
Panjang umur segala kebaikan dan orang-orang baik. Kalian semua adalah pahlawan:)
Ssttt hatiku mudah tersentuh atas segala kebaikan-kebaikan yang orang berikan bagi orang lain. Terlebih jika itu disifatkan secara rahasia. Aku sangat terkagum-kagum dengan itu.
Ohiya, kedua orangtuaku baik kok. Jadi ditunggu ya, untuk bertamu dan bertemu dengan beliau! 😁
Post a Comment