
Rakit
07 September, 2022
•
0 comment {s}
Dulu, dulu sekali, aku bertekad, "Aku mau ngajar dan bantu mereka wujudin keinginannya buat masuk ke kampus impian selepas dari SMA ini." Saat itu, aku masih tingkat awal sebagai mahasiswa di salah satu kampus kependidikan. Ya walaupun saat ini keadaannya, tak semulus itu :D
Dulu juga aku pernah berpikir seperti ini, "Aku ingin memiliki banyak anak, aku ingin mereka ahli di bidangnya masing-masing, menjadi orang yang amanah dalam bidangnya kelak dan tetap berpegang teguh pada Alquran." Berapa banyaknya adalah rahasiaku. Kenapa aku bisa berpikir demikian? Alasannya adalah atas segala rentetan peristiwa yang tak mengenakkan itu semua, yang membuatku ingin sekali memiliki seorang ahli pendidikan, ahli kesehatan, ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, dan ahli ahli yang lain. Saat itu, yang bisa aku pikirkan adalah hanya melalui generasi yang kelak akan kuwariskan. Hanya itu.
Tapi ternyata, aku salah besar. Justru melalui profesi ini, menjadikanku seorang ibu dari sekian banyak anak didik, yang akan terus bertambah dan bertambah. Salah dua cita-citaku dulu sangat mungkin untuk terwujud.
Mereka adalah perpanjangan tanganmu, mereka adalah benih-benih yang sedang kau semai di ladang yang sangat luas. Yang kelak, mereka pun akan menghasilkan buahnya: ranum, masam, atau bahkan pahit. Campur tangan seorang guru ada di sana, walaupun tak kau dampingi mereka bertumbuh secara penuh. Tapi, kamu punya kendali untuk itu.
Rakit. Sekarang aku sangat sadar, bahwa memperbaiki itu jauh lebih memerlukan banyak usaha daripada merakitnya.
Seperti konsep aljabar dan bilangan yang tak pernah absen kuulang, tiap menjelaskan konsep awal materi di kelas 9. Mereka sudah belajar itu di kelas 7, tapi tak maksimal. Akhirnya, konsep itupun kacau balau. Lelah? Iya. Mereka kesulitan memahaminya, tidak-tidak, secara konsep materi di kelas 9 mungkin hanya 1 sampai 2 baris, selebihnya adalah konsep-konsep yang telah mereka pelajari di kelas sebelumnya. Akhirnya, upayaku harus lebih lagi, menjelaskan kembali materi-materi terdahulu dan menggunakannya pada materi yang baru. Fyuhhh tak terbayang betapa sulitnya!
Hal ini membuatku sadar, kepercayaan yang diberikan kepadaku untuk mengajar di dua tingkatan yang berbeda, membuatku sadar dan berpikir utamanya bagi kelas 7 yang merupakan awalan dan pondasi ke tingkatan selanjutnya,
"Aku harus mematangkan konsep-konsep dasar ini pada mereka! Untuk awalan, tak apa jika mereka kesulitan, mereka lelah dan berpikir secara keras. Tapi aku percaya, itu akan memudahkan mereka di kemudian, karena telah mahir menyelesaikan konsep-konsep dasar itu."
Aku tak ingin kejadian pada kakak-kakak mereka sebelum itu terjadi pada mereka. Akan menjadi sangat menyulitkan jika membiarkan mereka tertatih-tatih di tingkat selanjutnya. Itu bukanlah pendidikan. Tapi penyiksaan.
Dan ya ternyata, mendidik tak sebercanda itu. Memperbaiki tak semudah itu, dan merakit tak sebentar itu. Merakit/membangun atau apalah diksi yang lain, mampu membuat kita menanamkan nilai-nilai sejak sangat awal sekali, bahkan rancangan akan seperti apa yang diinginkan dan bagaimananya, dapat disusun sedemikian rupa. Dan yang pasti, apa yang ditanamkan pada saat itu, akan mampu bertahan lebih kuat, mungkin mengabadi. Beda halnya ketika kita memperbaiki sesuatu yang dirasa kurang tepat. Mungkin akan kembali benar, tapi tak seutuhnya, dan mungkin takkan bertahan lama, ia akan kembali lagi, ke bentukan sebelumnya, yang syukur-syukur jika ia mampu ikut mengabadi juga tapi usaha dan penjagaannya haruslah kuat.
Merakit memerlukan waktu yang cukup lama. Semuanya berproses. Tapi satu yang pasti, baik memperbaiki ataupun merakit, keduanya memerlukan ilmu.
Lalu bagaimana dengan kata-kata yang tak asing lagi di telinga kita, yang mungkin menjadi cita-cita kita semua untuk: membangun peradaban?
Wah perlu banyak pengorbanan: waktu, harta, tenaga, dan pasti stok kesabaran yang ekstra. Sudah siap?
*Hasil pikiran randomku malam ini. Haha
Dulu, dulu sekali, aku bertekad, "Aku mau ngajar dan bantu mereka wujudin keinginannya buat masuk ke kampus impian selepas dari SMA ini." Saat itu, aku masih tingkat awal sebagai mahasiswa di salah satu kampus kependidikan. Ya walaupun saat ini keadaannya, tak semulus itu :D
Dulu juga aku pernah berpikir seperti ini, "Aku ingin memiliki banyak anak, aku ingin mereka ahli di bidangnya masing-masing, menjadi orang yang amanah dalam bidangnya kelak dan tetap berpegang teguh pada Alquran." Berapa banyaknya adalah rahasiaku. Kenapa aku bisa berpikir demikian? Alasannya adalah atas segala rentetan peristiwa yang tak mengenakkan itu semua, yang membuatku ingin sekali memiliki seorang ahli pendidikan, ahli kesehatan, ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, dan ahli ahli yang lain. Saat itu, yang bisa aku pikirkan adalah hanya melalui generasi yang kelak akan kuwariskan. Hanya itu.
Tapi ternyata, aku salah besar. Justru melalui profesi ini, menjadikanku seorang ibu dari sekian banyak anak didik, yang akan terus bertambah dan bertambah. Salah dua cita-citaku dulu sangat mungkin untuk terwujud.
Mereka adalah perpanjangan tanganmu, mereka adalah benih-benih yang sedang kau semai di ladang yang sangat luas. Yang kelak, mereka pun akan menghasilkan buahnya: ranum, masam, atau bahkan pahit. Campur tangan seorang guru ada di sana, walaupun tak kau dampingi mereka bertumbuh secara penuh. Tapi, kamu punya kendali untuk itu.
Rakit. Sekarang aku sangat sadar, bahwa memperbaiki itu jauh lebih memerlukan banyak usaha daripada merakitnya.
Seperti konsep aljabar dan bilangan yang tak pernah absen kuulang, tiap menjelaskan konsep awal materi di kelas 9. Mereka sudah belajar itu di kelas 7, tapi tak maksimal. Akhirnya, konsep itupun kacau balau. Lelah? Iya. Mereka kesulitan memahaminya, tidak-tidak, secara konsep materi di kelas 9 mungkin hanya 1 sampai 2 baris, selebihnya adalah konsep-konsep yang telah mereka pelajari di kelas sebelumnya. Akhirnya, upayaku harus lebih lagi, menjelaskan kembali materi-materi terdahulu dan menggunakannya pada materi yang baru. Fyuhhh tak terbayang betapa sulitnya!
Hal ini membuatku sadar, kepercayaan yang diberikan kepadaku untuk mengajar di dua tingkatan yang berbeda, membuatku sadar dan berpikir utamanya bagi kelas 7 yang merupakan awalan dan pondasi ke tingkatan selanjutnya,
"Aku harus mematangkan konsep-konsep dasar ini pada mereka! Untuk awalan, tak apa jika mereka kesulitan, mereka lelah dan berpikir secara keras. Tapi aku percaya, itu akan memudahkan mereka di kemudian, karena telah mahir menyelesaikan konsep-konsep dasar itu."
Aku tak ingin kejadian pada kakak-kakak mereka sebelum itu terjadi pada mereka. Akan menjadi sangat menyulitkan jika membiarkan mereka tertatih-tatih di tingkat selanjutnya. Itu bukanlah pendidikan. Tapi penyiksaan.
Dan ya ternyata, mendidik tak sebercanda itu. Memperbaiki tak semudah itu, dan merakit tak sebentar itu. Merakit/membangun atau apalah diksi yang lain, mampu membuat kita menanamkan nilai-nilai sejak sangat awal sekali, bahkan rancangan akan seperti apa yang diinginkan dan bagaimananya, dapat disusun sedemikian rupa. Dan yang pasti, apa yang ditanamkan pada saat itu, akan mampu bertahan lebih kuat, mungkin mengabadi. Beda halnya ketika kita memperbaiki sesuatu yang dirasa kurang tepat. Mungkin akan kembali benar, tapi tak seutuhnya, dan mungkin takkan bertahan lama, ia akan kembali lagi, ke bentukan sebelumnya, yang syukur-syukur jika ia mampu ikut mengabadi juga tapi usaha dan penjagaannya haruslah kuat.
Merakit memerlukan waktu yang cukup lama. Semuanya berproses. Tapi satu yang pasti, baik memperbaiki ataupun merakit, keduanya memerlukan ilmu.
Lalu bagaimana dengan kata-kata yang tak asing lagi di telinga kita, yang mungkin menjadi cita-cita kita semua untuk: membangun peradaban?
Wah perlu banyak pengorbanan: waktu, harta, tenaga, dan pasti stok kesabaran yang ekstra. Sudah siap?
*Hasil pikiran randomku malam ini. Haha
Post a Comment