blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Hai Kamu
Luput
Menjadi
Rumah dan Sebuah Kata Pulang
Sebelum Kita Bertemu
Rakit
Menjadi Bagian dari Alquran Yang Mulia
Tangan-tangan Mungil
(Menyerah) Jalani Sajalah
Memang Kamu Payah, Terima Saja

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Standar Pencarian
29 September, 2022 • 0 comment {s}


stan·dar n ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan

pen·ca·ri·an proses, cara, perbuatan mencari


"Ada kenalan akhwat gak, yang cantik, putih, shalihah, bisa ngaji, punya hafalan minimal 3 juz, tinggi 160 cm atau 165 cm, orang xxx." 


Aku yang diajak berbicara pun kebingungan. Apa tidak salah? Kriteria seperti itu tinggi sekali dan... langka.


"Yang penting dia cantik dan hafidzah."


What?! Apa kriteria semua laki-laki seperti ini? Berat sekali tampaknya ya. Dua kata itu nampaknya selalu muncul di barisan atas dalam keyword kriteria calon istri idaman.


Menyeramkan. Tapi tak dinafikkan juga, standar pencarian itu malah membuatku bercermin, sudah sepantas apa? Sudah sebaik apa?


"Yang penting bisa masak, sayang dengan keluarga saya, enak diajak ngobrol, dan bisa jadi pendengar yang baik. Urusan cantik atau tidak, itu bisa diupayakan."


Bahasan ini membuatku banyak berpikir, dan menanyakan ke beberapa rekan yang lain. Apakah kesan pertama itu begitu penting? Kecantikan atau ketampanan adalah standar penilaian pertama seseorang. Apakah itu akan dijadikan utama? Lalu bagaimana dengan manusia-manusia bermuka pas-pasan itu? Ah rasanya tidak adil sekali, jika kita berkiblat dengan standar manusia yang seperti itu.


***


"Bu bagaimana cara kita menilai kesiapan diri kita sendiri untuk menuju ke jenjang yang lebih serius lagi?" Tanyaku.


"Saya merasa telah cukup umur untuk menikah, saya ingin menyempurnakan separuh agama saya. Dengan menikah, segala hal yang kita lakukan bersama akan bernilai ibadah. Beda halnya dengan pacaran. Yang tadinya jika saya beramal, saya hanya dapat 1, ketika menikah bisa menjadi 2. Tujuan kita untuk sama-sama meraih ridha Allah kan ya? Saya juga tidak ingin bermaksiat" Jawab ibu tersebut dengan bijak.


"Lalu bu, apa saja kemampuan yang harus dimiliki oleh calon istri/suami?"


Ah pertanyaanmu, Ul, sudah seperti yang akan bersegera saja.


"Persiapan mental itu yang utama, karena sangat beda kondisi saat masih sendiri dan saat menjadi istri+ibu. Selain itu, harus memahami pola komunikasi, karena komunikasi adalah kunci dalam membangun hubungan dan komunikasi yang buruk dapat menjadi penyebab dalam keretakan rumah tangga. Saat menjadi istri, apa yang saya inginkan dan butuhkan, ya harus dikomunikasikan dengan jelas, karena laki-laki itu sangat sedikit yang mampu peka terhadap apa yang kita inginkan. Saya kan ldr ya, dan pasti lebih banyak lagi tantangannya. Sempat saya ada di titik yang sangat lelah sekali, orang lain berdua, saya sendiri di kebanyakan waktunya. Tapi ketika perasaan itu muncul, saya diingatkan kembali dengan suami saya mengenai tujuan dan anak-anak. Perempuan itu harus serba bisa ketika kita sendirian, tapi jika ada suami semua diposisikan sebagaimana fitrah kebutuhannya."


"Lalu bu, bagaimana tanggapan ibu mengenai istri yang bekerja?" Tanyaku lagi.


"Saya sudah terbiasa mandiri sejak belum menikah, saya juga ingin bekerja untuk ikut membantu dan memenuhi kebutuhan saya yang lain, semisal untuk keluarga saya (ibu, bapak, adik-adik, dll). Saya agak gimana gitu kalau minta terus sama suami untuk yang lain."


Hm ternyata beda-beda sudut pandang dan keputusan orang lain. Ada yang mensyaratkan setelah menikah untuk tidak bekerja-menetap di dalam rumah-dan mengurus suami dan anak-anaknya. Ada pula yang memilih untuk bekerja. Semuanya pasti ada plus minusnya.


***


Balik lagi ke topik bahasan awal, standar pencarian menurut Nabi Muhammad adalah berdasarkan kebaikan agamanya yang utama. Sedangkan menurut Ust. Salim standar pencarian itu dapat dilihat dari: bagaimana hubungannya dengan Allah, ibu (keluarganya), teman, dan anak kecil.


Tak dipungkiri, manusia pun ingin mendapatkan apa yang terbaik sebagai pelengkap hidupnya. Ingin menetapkan standar ini dan itu, bisa ini dan itu, bekerja ini dan itu. 


Bukankah dua insan itu tidak sempurna untuk saling menyempurnakan? Apa yang diinginkan, itu mampu diupayakan. Tapi ketaqwaan yang terpancar dalam akhlak dan kepribadiannya itulah yang abadi.




Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer