blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Standar Pencarian
Hai Kamu
Luput
Menjadi
Rumah dan Sebuah Kata Pulang
Sebelum Kita Bertemu
Rakit
Menjadi Bagian dari Alquran Yang Mulia
Tangan-tangan Mungil
(Menyerah) Jalani Sajalah

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Belajar dari Jalanan
09 October, 2022 • 0 comment {s}


Beberapa waktu lalu di sebuah pertemuan, seorang ustadz berkata seperti ini, "Jika nasihat, tak lagi mampu mengetuk hati saya, maka saya perlu untuk turun ke jalan melihat realitanya. Niscaya hati saya akan langsung terketuk."


"Turun ke jalan", kata beliau. Banyak hal yang bisa dilakukan, yang jelas suatu aksi nyata bukan hanya sebuah pencitraan belaka.


Aku banyak belajar dari jalanan, bagiku perjalanan itu salah satu momen untuk berkontemplasi, merenungi akan kehidupan. Aku suka melakukan perjalanan, karena aku dapat melihat berbagai kehidupan manusia dari sudut pandang yang berbeda dari biasanya.


Dari jalanan, aku mampu melihat bagaimana seorang tua renta dengan dagangannya yang tidur mengemper di pinggiran jalan atau di bawah kolong jembatan. Entah bagaimana kondisi rumah/keluarganya. Aku tahu beban hidupnya pasti berat, bahkan untuk makan di hari selanjutnya pun, tak tahu akan ada atau tidak, tapi pertanyaanku apakah ia pernah mengutuk takdir Tuhan atas dirinya? Tidak tahu.


Dari jalanan juga, aku mendapati seorang Ibu dengan gerobaknya yang mendorong anak balitanya sembari berjualan. Keadaannya menurutku sangat tak layak, anak balita tersebut disatukan dengan anak kucing dan kondisi anak tersebut sedang sakit. Betapa tak teganya, tapi aku juga yakin sang Ibu telah menempuh ribuan langkah bersama gerobaknya itu. Dari jalanan juga, aku mendapati satu keluarga yang tidur dalam gerobak yang sempit, yang mereka harus saling berbagi tempat, di pinggir jalan raya.


Pernah kudapati sebuah keluarga yang sangat muda, perkiraanku mereka masih berusia belasan (seperti anak SMP) tapi sudah memiliki anak. Waktu itu lampu sedang merah, anak laki-laki tersebut (atau lebih tepatnya sang ayah) dengan bahagianya berjoget ria, memelas asih para pengguna jalan untuk memberinya beberapa lembar rupiah, istrinya di pinggir jalan raya sembari menggendong sang anak bayi. Mungkin ketika kita melihat itu akan merasa iba, kasihan, miris. Tapi di sisi yang lain, mungkin ada perasaan heroik seorang suami dari beberapa lembar rupiah yang ia dapatkan. Perasaan heroik seorang ayah yang bertekad untuk membeli kebutuhan istri dan anaknya.


Dari jalanan pula, aku dapati badut yang sedang beratraksi di tengah lampu merah, atau ayah badut bersama anaknya yang tengah beristirahat di pinggiran jalan. Lagi-lagi mungkin kita iba dan berupaya menyisihkan sekian rupiah untuk diberikan. Tapi lagi-lagi, kusampaikan, bisa jadi ada rasa syukur yang tak terbilang, rasa pengorbanan yang dilakukan seorang tulang punggung keluarga, yang dengannya ia sangat senang karena mampu memberi lembar demi lembar rupiah.


Pernah juga kudapati seorang ibu dan anaknya yang mencari botol-botol bekas. Tak tega jika hanya melihatnya saja, pasti kita akan tergerak setidaknya memberikan sekian nominal atau makanan yang kita punya kepada mereka, ya walaupun mereka bukanlah peminta-minta. Tapi bagi kita, itu adalah bukti syukur dan tenggang rasa pada sesama. Lantunan doa disampaikan oleh mereka bagi kebaikan pemberi. Betapa sangat mengharukan, ya? Yang jelas itu bukanlah suatu pencitraan. Dengan berbagi, justru yang akan melembutkan hati kita.


Anak pencari botol bekas tadi, mungkin menurut kita sangat mengenaskan, tapi aku yakin anak tersebut memiliki keyakinan yang kuat untuk membantu orangtuanya, lewat jerih keringat dan rasa tanggung jawab memikul beban di punggungnya yang harus rela berjalan berkilo-kilo meter. Lalu bagaimana dengan kita? 


Melembutkan hati, bagiku banyak caranya. Beberapa diantaranya adalah dengan berbagi (apapun itu), membuka mata dan hati melihat sekitar, turun langsung menjadi bagian dari sebagian orang yang dianggap rendah di masyarakat dengan turut membantu pekerjaannya, dan melakukan perjalanan.


Tidak ada pekerjaan yang rendah, terlebih jika itu adalah melalui cara yang halal. Itu hanyalah label manusia saja. Seseorang yang berilmu bukan hanya orang yang pandai dalam ilmunya, lebih jauh dari itu, ia mampu menempatkan dirinya dalam kondisi apapun.


Belajar dari jalanan, bertemu banyak orang, mengamati penciptaan-Nya, rasa-rasanya sangat cukup untuk melembutkan hati dan memaknai keberadaanmu sendiri. Terlebih itu adalah perjalanan dalam kehidupan.


Manusia itu beragam, namun Allah pasti selalu mencukupkan rezeki atas setiap makhluk-Nya. Maha Baik Allah yang Maha Mengatur segala kehidupan.



Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer