2022.
Begitu berkesan. Banyak hal baru dalam hidupku. Banyak sekali.
Aku mulai mengajar di sekolah formal di tahun ini.
Dan juga ajakan untuk berlayar.
Banyak manusia yang pernah hadir di 2 tahun sebelumnya, yang hanya sekadar tanya kini memperjelas maksudnya.
---
Ajakan pertama, aku langsung menolak. Karena terasa begitu mendadak dan cepat. Aku belum mengenalnya sama sekali, kita hanya bertemu sekali itu juga hanya sebatas kepentingan wawancara. Tahun 2020, ia menanyakan tentang diriku. Tapi, aku tak menggubrisnya. Hingga di tahun 2022 ia kembali menyatakan kesungguhannya. Aku kira itu hanya lelucon, tapi katanya, perkara mengajak seorang perempuan untuk berumah tangga itu bukanlah sebuah lelucon. Itu keseriusan.
Setelah aku bertanya ke salah seorang teman, ternyata kesimpulanku, dia "belum cukup baik" untuk membuatku memberanikan diri ke jenjang proses. Tak butuh waktu lama, selang beberapa jam setelah beliau menyatakan akan menemui orang tuaku, aku menjawab, "Maaf saya tidak bisa."
Mungkin terkesan terlalu gegabah, tapi semoga itu keputusan terbaik.
---
Ajakan kedua, aku mendapati sebuah pesan masuk dari instagram. Aku tak kenal sama sekali dengan orang tersebut dan tak ada kenalanku yang mengenal beliau. Beliau ternyata bagian dari DT. Dengan begitu tiba-tibanya, beliau mengajakku untuk taaruf yang akan dibersamai oleh ustadznya.
Aku sempat terheran, karena kenal saja tidak. Dan beliau bilang, "Oleh sebab itu saya mengajak teteh untuk taaruf, supaya saling mengenal.", hmm benar juga. Sebelum ku-iya-kan, aku menanyakan satu hal yang sangat penting yang kelak menjadi syarat mutlakku dalam memilih pasangan. Ternyata, hanya pernah dan tak berjalan lagi. Itu alasan sangat kuat bagiku untuk tak melanjutkan ke tahapan yang ia ajukan,
"Maaf saya belum bisa." Dan selesailah sudah tanpa kita harus berproses.
---
Ajakan ketiga, ia akhirnya memunculkan identitas yang disembunyikan di tahun 2020. Kali ini, aku mengetahuinya tanpa harus menebak-nebak sosoknya. Dia ternyata teman dekatku sejak dulu.
Rencana keseriusannya sempat disampaikan, yang membuatku mengambil ancang-ancang untuk bertanya kepada teman dekatnya sejak lama, untuk mengambil keputusan selanjutnya.
Pertanyaan yang aku tanyakan pada temannya adalah sebagai berikut (yang aku ingat):
1. Bagaimana kondisi ibadahnya?
2. Bagaimana sikap dia terhadap keluarganya (terkhusus ibunya)?
3. Bagaimana sikap dia ke teman-temannya?
4. Sudah sejauh apa ia mempersiapkan untuk menikah?
5. Apakah ia suka berhutang atau hal-hal riba?
6. Apakah selama berteman ia pernah marah atau kesal? Bagaimana pengekspresiannya saat marah?
7. Bagaimana interaksinya dengan lawan jenis?
Dan setelah kutanyakan beberapa hal tersebut, ternyata jawabannya sangat di luar dugaan. Jawaban tersebut adalah jawaban "Kategori Baik" seseorang bagiku.
"Ia ikhwan yang baik. Aku juga mengenalnya." Benakku kala itu. Satu bulan sebelum Ramadhan seingatku. Kali ini aku beranikan diri untuk mencoba berproses, kuberikan proposalku pada seorang guru. Bismillah, sepertinya ia lelaki yang baik.
Ramadhan tanggal 17, aku ingin memproses di tanggal tersebut. Karena aku yakin saat Ramadhan adalah saat seorang hamba berada dalam kondisi iman terbaik. Lagi pula di malam itu pun waktu diturunkannya alquran. Aku menyampaikan untuk segala prosesnya melalui guru masing-masing. Dia pun mengiyakan.
Saat itu aku bertanya-tanya, apakah langkahku sudah benar? Apakah aku sudah siap? Jika proses itu benar terjadi, takkan ada yang dapat menghentikan kecuali alasan yang syar'i, jika tidak maka akan terus dilanjutkan hingga ke pernikahan.
Jika ya, maka kemungkinan akhir tahun 2022 atau awal tahun 2023 aku akan menikah. Apakah aku betul-betul sudah siap?
Pertanyaan itu terus memenuhi kepalaku. Membuatku untuk bersiap dan belajar.
Namun, ada satu hal yang luput aku tanyakan. Mengenai syarat mutlakku bagi calon suamiku kelak. Pertanyaan itu aku tanyakan ke temannya yang lain, ternyata jawabannya membuatku tertegun. Dia belum memenuhi syarat. Lingkarannya tidak lancar dan malah berhenti.
Bagaimana ini? Apa akan terus aku lanjutkan? Tapi dia... Ah mungkin nanti dia akan melanjutkan lingkarannya itu. Aku berharap supaya ia mulai kembali, toh hal itu karena ia sibuk bekerja.
Qadarullah sebelum waktu yang ditetapkan untuk berproses, ia menghubungiku kembali, dan menyatakan bahwa dirinya ternyata masih belum siap setelah ia mendiskusikan dengan sang guru.
Rasanya aku lega akan jawabannya, karena aku tak jadi untuk menuju tahap yang lebih serius dalam waktu dekat. Berarti aku masih memiliki waktu untuk terus belajar.
---
Begitu juga dengan salah satu guru di tempat mengajar, ia menawarkan untuk berproses dengan adiknya. Setelah kutanya-tanya, nampaknya ia memenuhi syarat mutlakku akan pencarian seorang qawwam kelak. Laki-laki itu, aku pun tak mengenalnya sama sekali. Hingga guru tersebut menawarkan untuk memberikan proposalku padanya, untuk berproses.
Rasanya, aku belum yakin.
---
Belum lama ini, ajakan dari orang yang berbeda sempat hadir. Aku dapat proposal dirinya. Kaget, kalut, dan panik karena aku sama sekali tak mengenalnya. Setelah ku cari tahu, ternyata ada yang mengganjal untuk mengiyakannya. Ia lagi-lagi tak memenuhi syarat mutlak yang kutentukan untuk menjadi seorang imamku kelak. Kita bisa dibilang memiliki sedikit perbedaan pendapat. Beliau memintaku ketika kelak menjadi istri untuk berhenti bekerja dan mengenakan cadar.
Untuk kali ini, guruku langsung yang bertindak. Qadarullah, memang bukan jodohnya. Akhirnya proposal tersebut tak difollow-up oleh guruku.
Alhamdulillah.
---
Beberapa orang yang sempat hadir membuatku selalu bertanya kepada diri, "Sudah sejauh apa persiapan dan kesiapanmu?"
Ternyata untuk memutuskan berproses ke jenjang yang lebih serius itu tak mudah, karena kita harus meyakinkan diri, orang tua, dan pasti harus memiliki bekal yang cukup.
---
"Lalu, apa lagi yang kamu tunggu untuk memberanikan diri berproses dengan orang lain?"
Aku tak ingin berproses sembarangan. Aku ingin proses ini benar-benar bersih dan Allah ridhoi. Aku juga ingin saat kelak aku berproses sedang berada dalam kondisi keimanan yang paling baik. Aku ingin dipertemukan dengan orang yang memenuhi syarat-syarat mutlakku. Yang mampu meyakinkan diriku untuk menjadikan ia sebagai qawwam kelak.
Sebelum aku menuntut orang lain untuk memenuhi apa yang aku inginkan, diharuskan untuk aku memenuhi lebih dulu bagi diriku sendiri. Bukankah jodoh itu adalah cerminan diri?
Aku hanya tak ingin, saat aku dipertemukan dengannya, kondisi imanku sedang tidak baik-baik saja dan ternyata ia pun juga.
Bukankah visi rumah tangga kita kelak tak main-main?
Bersabarlah sedikit lagi. Menikah tak boleh ditunda, namun juga tak boleh terburu-buru.
Semoga Allah pantaskan.
Post a Comment