Judul yang tak asing lagi bagi kita, terutama bagi manusia-manusia yang pernah/sedang menimba ilmu di kampus pendidikan. Topik yang hangat untuk dikaji di segala lini.
Di sini, aku bukanlah ahli yang membahas hal tersebut dari A-Z, aku tak punya kapasitas tentang itu. Aku hanya ingin sedikit berbagi saja tentang apa yang aku pikirkan.
Kasus 1:
Beberapa waktu lalu, teman guru di tempat aku mengajar, sempat diriuhkan oleh ditundanya rencana LDKS dan segala macam kegiatan-kegiatan siswa yang diberlakukan pungutan. Usut punya usut, ada orang tua murid yang melaporkan hal tersebut hingga berimbas dipanggilnya kepala sekolah dan diputuskannya hal tadi.
Kasus 2:
Di tempat yang lain, justru sekolah sangat memfasilitasi segala hal yang berkaitan dengan kegiatan siswa. Segala macam perlombaan boleh diikuti, segala kegiatan ini dan itu sangat padat diikuti siswa. Sekolah dengan mudahnya memfasilitasi hal tersebut.
Paham bagaimana kondisi dua hal yang aku sebutkan? Sangat bertentangan bukan?
Kasus 1: tidak diperbolehkan adanya pungutan liar dalam bentuk apapun, fasilitas maupun program pemberdayaan minat bakat siswa terkesan seadanya bahkan sulit, kabar baiknya adalah pendidikan nol rupiah.
Kasus 2: fasilitas sangat nyaman dan program pemberdayaan minat bakat siswa sangat disediakan pun disalurkan berapapun biayanya. Tapi untuk mendapat hal setimpal harus dibayar biaya pendidikan hingga dua digit tiap tahunnya.
Kamu pernah dengar, "Ada harga, ada kualitas" ?
Aku sering mendengarnya saat akan melakukan transaksi jual beli. Dalam bisnis!
Lalu, bisakah disebut bahwa pendidikan ini juga lahan bisnis yang sangat menggiurkan?!
---
Obrolan ringan tadi sore, bersama ibu dan adikku mengenai cerita PAS di sekolah adikku,
"Temannya Haikal, ngerjain PAS di masjid karena belum dapat nomor. Lumayan banyak."
"Bu guru bilang ke teman aku untuk shalat dhuha dulu, terus mengerjakannya di masjid, biar suasana baru." Timpal adikku.
Sampai hati! Aku paham sekali berada di posisi anak-anak itu:')
Aku yakin, gurunya pun tak tega untuk membiarkannya, namun mau bagaimana lagi? Memang sudah seperti itu aturannya.
Jiwa mereka hancur, mereka diperlakukan berbeda dari temannya yang lain betapa sakitnya!
Kembali lagi, "Untuk mendapatkan fasilitas yang terbaik, anda harus berani membayar terlebih dahulu ke kami."
Memuakkan! Apakah semua lini dalam hidup ini harus selalu diukur oleh materi? Tapi ya seperti inilah realitanya.
Pegawai mereka pun manusia yang menuntut kesejahteraan, dan kembali lagi harus banyak dana yang jadi pemasukan untuk dikeluarkan secara setimpal.
Lalu bagaimana dengan institusi pendidikan nol rupiah menggaji pegawai-pegawainya?
Dapatkah kamu memprediksi nominalnya?
Sini aku beritahu, temanku, ia harus mengajar di beberapa sekolah untuk ia bisa mendapat gaji satu juta lebih sedikit. Wah!
Satu juta? Harus ngajar di beberapa sekolah dulu? Rasanya hanya habis untuk makan selama satu bulan saja.
Tapi itu nyata! Lebih besar gaji seorang khadimah daripada seorang guru! Miris!
"Sudah bu, jadi pengasuh anak saya saja daripada capek-capek mengajar. Gajinya juga lebih besar."
Lalu kalian penasaran berapa nominal yang aku peroleh tiap bulan? Ah tidak perlu tahu. Yang jelas, aku merasa cukup untuk terus hidup. Alhamdulillah.
Oh ya, beda lagi jika status pegawai institusi pendidikan nol rupiah itu sudah sebagai aparatur sipil negara. Aku takkan membahasnya.
---
Komersialisasi pendidikan, bisnis pendidikan, sepertinya itu memang masih tren di Indonesia.
Di saat negara-negara lain berlomba untuk memberikan pendidikan paling murah bahkan gratis dengan fasilitas terbaik, justru kita sebaliknya.
Di saat para guru di luar sana diberi gaji fantastis, setimpal dengan besar tanggung jawabnya, justu kita sebaliknya.
Seorang ustadz dulu pernah bercerita tentang pengalaman hidupnya menempuh studi di negeri para Nabi: Mesir. Biaya pendidikan di Mesir murah, hanya 60.000 - 70.000 rupiah persemesternya. Bahkan mereka bangga jika berhasil masuk ke kampus yang biaya pendidikannya rendah bahkan gratis. Justru lebih mahal biaya hidup daripada biaya pendidikannya.
Sedangkan di Indonesia, universitas terbaik berlomba dengan fasilitasnya mematok biaya pendidikan berjuta-juta di tiap semesternya.
Aku juga pernah membaca mengenai Kuttab Al - Fatih, yang berencana untuk menggratiskan biaya pendidikan karena biaya pendidikan ditanggung oleh wakaf dari masyarakat. Aku pun teringat masa dinasti abbasiyah dan ustmaniyyah dimana biaya pendidikan gratis bahkan sampai ke tingkat perguruan tinggi.
Hal ini nampaknya membenarkan statement,
"Pendidikan terbaik hanya diperoleh bagi orang-orang yang memiliki privilege untuk itu."
Ah sudah seperti zaman kolonial saja, pendidikan tinggi hanya mampu diakses oleh kaum bangsawan. Bukankah mendapatkan pendidikan yang baik itu adalah hak tiap-tiap warga negara?
---
Semoga lekas membaik ya, negeri tercinta.
Post a Comment