blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Tak Lagi Sama
Manusia Sombong
Takkan Terganti
Gunung dan Pantai
Petualang
Bantuan
Kesempatan
Pandangan Mata - Hijjaz
Topeng dan Polesan
Goyah

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Dapur
28 January, 2023 • 0 comment {s}


"Dulu aku di bagian katering kak, di dapur."

"Wah, enak banget! Kakak dulu mau di situ loh, Ul. Tapi gaada dulu mah."

"Serius kak? Kenapa kakak mau di situ?"

"Soalnya kakak suka masak, suka makan. Itu ilmunya mahal, Ul di situ."


---


Obrolan pagi ini dengan salah seorang kakak tingkat dahulu. 


"Manusia langka." Gumamku.


Ekspresinya saat aku ceritakan tadi, sangat bahagia. Senyumnya merekah begitu lebar. Ah memang kakak tersebut selalu buatku kagum dengan sikapnya: ramah, santun, selalu tersenyum, dan ya aku dapat merasakan kesederhanaan dalam dirinya, juga ketulusannya.


Di saat orang lain yang aku ceritakan tentang hal serupa, mungkin sedikit memicingkan mata, atau menatap iba. Beliau tidak, justru sebaliknya.


Di saat orang lain dahulu, tak menginginkan berada di posisi tersebut, beliau malah dengan sukarela ingin berada di posisi tersebut.


---


Dulu, memang aku sudah ditempatkan di sekolah untuk mengajar, aku dan salah seorang teman. Semua berjalan sesuai dengan yang aku rencanakan tapi tak bertahan lama. 


Mereka berkumpul dalam kamarku, saat aku sedang berkemas.


"Jadi gini, Aul. Bagaimana ya ngomongnya."


"Untuk bagian katering, kan, perlu setiap hari ke pasar ya untuk belanja."


Tunggu-tunggu, sepertinya aku mulai paham kemana arah pembicaraannya.


"Nah, yang di bagian katering itu tiga-tiganya tidak bisa bawa motor. Kalau kamu tukeran gimana, jadi kamu di katering dan F di sekolah?"


Ternyata benar dugaanku!


Semua terdiam, saat itu aku seperti terguncang.

Ada rasa tidak rela untuk penukaran itu.


"Iya teh, kalau aku jadi di sekolah, rencananya mau sekalian ambil data buat skripsi dan ppl juga." Imbuh temanku yang bersangkutan.


Aku masih terdiam.


"Aul boleh pertimbangkan lagi, kami tidak memaksa."


"Aul tau gak, kisah seorang juru masak pesantren? Beliau hidup hanya untuk menyajikan hidangan bagi para santri. Dan ternyata setelah makamnya dibongkar untuk dipindahkan, ternyata jasadnya masih utuh. Kamu tau gak kenapa?"


Aku hanya menggeleng.


"Karena amal beliau yang setiap harinya memasak untuk ratusan bahkan ribuan santri."


Aku masih belum bisa berkata-kata.


"Mungkin memang ini keputusan yang cukup berat ya, kami paham itu. Oh iya, Aul tau gak, sekelas Imam Syafi'i mencari calon istri yang seperti apa?"


Aku menggeleng lagi.


"Yang mau memasak makanan untuk para santrinya."


Pernyataan 'tidak memaksa', tapi justru bagiku sangat memaksa untuk di-iya-kan.


"Mangga boleh Aul pikirkan dulu."


---


Sedih? Jelas. Sangat malah.

Sampai aku menceritakan pada kedua orangtuaku terkait pemindahan ini. Dan balasan yang sangat menenangkan aku dapatkan dari mereka,


"Tidak apa-apa, Lia. Semoga menjadi jalan keberkahan. Bayangkan, berapa banyak pahala yang nanti bisa dituai karena memberi makan para penghafal Alquran?"


Sangat menenangkan. Aku juga bertanya ke teman yang kelak menjadi sahabat sekaligus partner pengabdian, pertanyaan serupa, juga dengan jawaban yang sangat menenangkan.


"Tidak apa-apa kak. Semoga tiap makanan yang kita masak untuk mereka, mampu menjadi energi mereka untuk menghafal Alquran. Dan di dapur itu, waktunya hanya dari pagi sampai siang saja kak, sisa waktu yang lain mau aku pakai muraja'ah."


Tak main-main, ia adalah salah satu adik yang sudah mentasmi'kan 10 juz sekali duduk. Harusnya beliau ditempatkan sebagai musyrifah, tapi justru di bagian dapur/katering.


Betapa mulianya hati orang-orang, betapa kesederhanaan mereka justru membuatku terpana karena bersahaja.


Yang setelah aku putuskan untuk memilih, aku dapati pernyataan dari seorang calon teman mengabdiku, "Ul, kok kamu mau aja sih ditempatin di dapur? Aku mah gamau. Masa kita S1 terus ke dapur." 


Hm, agak tak pantas untuk kudengar. 


Dan setelahnya kuketahui bahwa orang yang menggantikan posisi itu, ia bisa kok mengendarai motor, tapi justru dulu berdalih pindah karena tak bisa mengendarai motor. Ah sudahlah.


---


Apa aku menyesali keputusanku?

Tidak. Aku malah bersyukur. Sangat bersyukur.

Walaupun tak aku pungkiri, pengabdian itu sangat amat melelahkan tak hanya fisik, juga menguji emosi. Betapa tidak?


Kami harus menghidangkan sarapan, makan siang, dan makan malam dengan menu berbeda. Berangkat ke pasar saat pagi buta dan udara yang masih sangat dingin bahkan kadang menusuk. Belanja ini dan itu, bukan hanya untuk sekali makan, untuk tiga kali makan dan untuk porsi > 30 orang. Bayangkan berapa berat jinjingan belanjaan kami yang harus diangkat oleh hanya dua orang akhwat?! 


Tak sampai di situ, kami pun harus memotong-menyiangi-dan menyiapkan bahan-bahan itu untuk kemudian diolah. Sudah selesai karena sudah matang lalu dihidangkan? Belum! Kami harus mencuci segala perabotan yang dipakai untuk memasak. Beberapa wajan besar dan perintilannya yang sudah seperti hajatan saja. Ditambah lagi harus tetap berpakaian lengkap karena ada seorang ikhwan sebagai chef. 


Rasanya capek sekali. Dan jelas aroma yang tak sedap untuk dihirup. Aroma pasar itu benar-benar kuat. Sangat kuat. Ditambah lagi aroma bumbu-bumbu dapur (a.k.a bawang dkk), juga aroma masakan. Yang membuat kami untuk benar-benar memisahkan baju yang hendak dipakai ke dapur dan mencucinya dengan benar supaya bau itu tidak lekat.


Oh ya, ditambah lagi setiap Senin dan Kamis, kami harus menyiapkan hidangan buka puasa untuk 60 porsi, yang untuk dagingnya saja bisa sampai 5-7 kg, belum ditambah sayur dan buah, dan diangkut berdua saja.


Saat orang-orang qailullah, kami baru tuntas memasak ditambah pegal sekujur badan. Bahkan, saat awal-awal pengabdian, adik, selalu jatuh sakit (badannya panas) di Hari Senin dan Kamis karena kelelahan.


Ditambah lagi kami harus mengumpulkan setiap nota belanja, dan membuat laporan keuangannya setiap hari yang memusingkan dan harus jelas setiap pengeluarannya. 


Dari santri, kami bertiga, dibantu dengan dua orang juru masak. Di masa awal-awal itu, waktu kami terkuras habis bahkan hingga tengah malam untuk menyelesaikan laporan keuangan. Tak lupa kami harus menyusun variasi menu untuk satu pekan mendatang, juga tentang budgeting (mengatur apa saja yang akan dibeli agar cukup dengan uang yang diberikan, kalau bisa malah surplus).


Dan akhirnya kami mengeluhkan akan beban kerja yang luar biasa berat dan padat, hingga diambil keputusan terjadinya pertukaran koki (dari yang ikhwan menjadi akhwat) yang dengan keberadaannya sangat-sangat membantu meringankan tugas kami.


---


Pengalaman yang berharga. Sangat berharga.


Teringat perkataan salah satu dari mereka,


"Teh, tau gak, dengan kita di dapur, sejatinya kita sudah 1 langkah lebih dulu dalam mempersiapkan. Bukankah ini bekal kelak menjadi istri?"


Aku hanya mengiyakan.


Aku bertemu banyak orang, aku belajar banyak hal, bersama dengan mereka aku merasa jauh banyak berubah. Mereka orang-orang hebat nan sederhana. Aku banyak belajar arti ikhlas, menjadi manusia bumi yang berempati, dan ya tentang perjuangan. Dari mereka juga aku belajar mengenai ketulusan. 


Banyak dari mereka (orang-orang yang kutemui itu), mungkin dipandang sebelah mata oleh orang lain, tapi justru menurutku mereka lebih luar biasa daripada orang-orang dengan gelar pendidikan/jabatan yang tinggi. Dari mereka juga, aku belajar bagaimana menempatkan diri dan menjadi pendengar yang baik.


---


Terima kasih ya Allah, mungkin dulu saat aku jalani, banyak keluh kesah dan berat hati. Tapi nyatanya, justru itu adalah kenangan luar biasa yang aku peroleh hingga saat ini. Terima kasih banyak teman-temanku, kalian adalah salah satu chapter hidup yang luar biasa.


Barakallahu fiikum.



Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer