blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Takkan Terganti
Gunung dan Pantai
Petualang
Bantuan
Kesempatan
Pandangan Mata - Hijjaz
Topeng dan Polesan
Goyah
Hidup Bersama Alquran
Komersialisasi Pendidikan

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Manusia Sombong
18 January, 2023 • 0 comment {s}


"Lo sombong, Ul." Katanya tiba-tiba.


Pernyataan itu dengan mudahnya terlontar dari salah satu temanku, sekitar 5 tahun lalu. Sontak aku kaget dengan pernyataannya dan menanyakan alasan ia berkata demikian.


"Lo sombong karena lo gamau minta tolong sama orang. Coba deh lo sekali-kali minta tolong ke orang. Kalo lo minta tolong ke orang, orang lain juga ga akan segan minta tolong ke lo."


Aku mengerti maksudnya. Tentang permintaan tolong kepada orang lain. Dulu, aku pernah punya prinsip seperti ini,

"Selama aku masih bisa melakukan suatu hal itu seorang diri, kenapa harus minta tolong orang lain?"


Hal tersebut kutanamkan karena aku sadar, agar tak merepotkan orang lain. Ada hal yang aneh saat aku diberi bantuan atau pertolongan orang lain, aku selalu merasa utang budi atas kebaikannya. 


"Aku harus mengganti dengan hal yang serupa atau senilai dengan itu."

 

Dengan pemikiran tersebut, rasanya, agak sedikit merepotkan dan lebih baik aku usahakan tidak untuk meminta tolong kepada orang lain jika itu tak butuh-butuh amat.


Selain itu juga, aku sadar bahwa orang lain juga memiliki kesibukan dan urusannya masing-masing. Pun dengan masalah hidupnya. 


Prinsip selanjutnya adalah, "Jika aku tak mampu menolong seseorang, setidaknya aku tak merepotkannya.", Makin lah menjadi alasanku untuk berdikari tanpa bantuan orang lain.


"Kebaikan seseorang yang diberikan pada kita, itu memang ia niatkan untuk berbuat baik. Kita yang memberi kesempatan dia buat menolong, buat membuka ladang amal baginya. Tak usah pikirkan tentang harus mengganti berapa banyak atas perlakuan yang telah dia berikan. Kalau pun kamu mau menggantinya, tak usah diberikan dalam nominal yang serupa. Anggap saja, sekarang dia mentraktirmu, besok gantian dirimu yang mentraktir ia. Atau ganti saja dengan barang yang lain, jangan dengan uang." Ucap seorang teman kala itu.


Menjadi manusia ga enakan, yang hampir selalu menganggap setiap kebaikan yang diberikan padanya adalah utang budi yang harus dibayar dan dilunasi. Itu merepotkan. 


Pikiranku kala itu adalah, aku tahu ia juga memiliki keluarga dan kebutuhan yang akan dibeli (karena sebelumnya teman tersebut bercerita akan membelikan seragam untuk adiknya). Uang yang aku ganti atas traktirannya bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya yang lain, bukan melalui ganti barang/makanan yang kita tidak tahu mana kebutuhan yang lebih mendesak baginya. Tapi tetap prinsipku, utang itu harus segera dibayar. Lagi, aku tak ingin menyulitkan orang lain untuk mengada-adakan dirinya untuk mentraktir/menolong/membantuku.


Selain itu juga, aku pernah merasakan saat tak mampu mengatasinya sendiri, saat aku merasa "Sekarat", saat aku beranikan diri untuk meminta tolong pada orang lain, orang-orang itu tak bisa membantuku. Mereka lenyap. Mereka tak ada saat aku membutuhkan pertolongan. Akhirnya aku tak dapat menyandarkan harap pada orang lain, harap itu hanya bagi diriku dan Allah saja. Bahwa diriku yang harus mencari jalan keluarnya dengan pertolongan Allah. Aku pernah sekecewa itu pada orang lain.


Kemudian, meminta tolong pada orang lain, seringkali memerlukan waktu yang lebih lama dibanding jika diselesaikan sendiri, semampu yang kita bisa.


Tapi lagi-lagi aku diingatkan, bahwa kita juga memerlukan orang lain, terlebih ketika kelak sudah berumah tangga. Semandiri apapun seorang istri, ia harus memberikan peran juga bagi suaminya untuk turut serta. Pun di masyarakat, kita takkan bisa hidup tanpa pertolongan orang lain, termasuk ketika kita meninggal kelak. 


Selain itu, dengan meminta pertolongan kepada orang lain, itu artinya juga memberi kesempatan bagi orang lain untuk beramal, memberi kebahagiaan, rasa tenang, dan lega (seperti saat kita juga menolong orang lain yang membutuhkan).


Lagi, tentang bantuan, kebaikan, yang diberikan orang lain kepada kita, bukan menuntut kita untuk menggantinya dengan balasan yang serupa. Bukan melulu tentang utang budi.


Pernah kutemui seseorang yang tak kukenal memberi pertolongan di saat genting dan saat aku ingin memberikan rasa terima kasih padanya atas pertolongan itu, beliau hanya mengatakan, "Niat saya tulus untuk menolong teteh. Semoga bisa menjadi amal bagi saya, dan semoga kelak saat saya berada dalam kesulitan juga ada orang-orang baik yang menolong saya."


Yang kesemuanya, malah membuat kita untuk saling bahu-membahu memberikan apa yang bisa kita berikan bagi orang lain. Bukankah itu yang dimaksud dengan tolong-menolong? Bukankah itu wujud iman yang sesungguhnya, tentang tali persaudaraan? 


Pertolongan/bantuan yang bagai air meredam api cemburu, iri, dengki, amarah bagi saudaranya.


Ah dunia ini indah, jika semua manusia saling tolong menolong dalam kebaikan.


---


Terakhir dan yang paling penting, Allahlah yang menolong manusia. Yang menggerakkan hati-hati manusia untuk menolong kita. Yang membuka jalan atas segala permasalahan yang ada. Yang menjawab segala doa-doa kita.


Put Allah first, and you'll never be the last.





Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer