
Peran Yang Tertukar
10 March, 2023
•
0 comment {s}
Di dunia ini, manusia memiliki fitrahnya masing-masing ya? Fitrah menjadi seorang muslim, fitrah untuk cenderung menyukai segala kebaikan.
Pun yang berkaitan dengan jenis kelamin masing-masing, kita mengenalnya dengan fitrah seksualitas: maskulinitas atau feminitas.
Fitrah maskulinitas adalah segala hal yang berkaitan dengan "Kelaki-lakian": Qawwam, tanggung jawab nafkah, decision maker, problem solver, keamanan, ketercukupan, logika, tegas, kuat, berani, mandiri, dan segala hal yang menunjukkan kalau dia itu laki-laki banget.
Sedangkan fitrah feminitas adalah segala hal yang berkaitan dengan "Keperempuanan": kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat empati, kehangatan, keteduhan, ke-bergantungan, perasaan, dan segala hal mengenai ketenangan.
Perempuan itu adalah tanggung jawab ayahnya sebelum ia menikah dan menjadi tanggung jawab suaminya setelah menikah, hal ini menyangkut segala bentuk pertanggungjawaban baik perkara dosa hingga nafkah. Berat juga ya menjadi pemimpin itu, berat sekali pertanggungjawabannya karena kelak di akhirat yang akan dihisab adalah kepala keluarganya terlebih dahulu. Dan benarlah QS. At-Tahrim ayat 6 untuk saling menjaga keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.
Contoh sukses keluarga yang diabadikan dalam Alquran adalah Keluarga Ibrahim dan Imran, cukup panjang kalau aku jelaskan saat ini. Semoga ada kesempatan untuk aku tuliskan selanjutnya.
Balik lagi ke bahasan yang saat ini aku angkat,
Perempuan tak memiliki kewajiban untuk bekerja. Bekerja hanya sebatas untuk menyalurkan hobi atau aktualisasi diri, bukan dititikberatkan untuk memperoleh nafkah, karena itu adalah tanggung jawab laki-laki yang menjadi wali/suaminya.
(Lalu, aku pun bekerja untuk apa ya? Apa yang hendak aku kejar?)
Tapi fenomena saat ini, banyak sekali aku temukan laki-laki yang tanggung jawabnya kurang atau bisa dibilang tak bertanggung jawab untuk mengurusi keluarganya. Tak memiliki perencanaan keuangan yang matang, hingga muncullah istilah generasi sandwich. Perempuan berlomba-lomba untuk bekerja: mencari uang sebanyak-banyaknya untuk menghidupi keluarganya.
Hal tersebut banyak sekali aku temukan, baik yang statusnya sebagai seorang anak atau sebagai istri. Lalu suaminya/ayahnya ngapain? Entahlah~
Aku tak habis pikir, perempuan bekerja untuk menafkahi keluarganya bukankah sebenarnya itu menyalahi fitrahnya? Dan oleh sebab itu pula justru fitrah maskulinitasnya yang semakin terasah tajam, hingga puncaknya adalah penyuaraan kesetaraan atau laki-laki tak lagi dianggapnya sebagai manusia penting dalam hidupnya. Ya saking mandirinya, hingga ia tak memerlukan sosok lelaki dalam hidupnya. Sangat menyalahi fitrah bukan? Na'udzubillah.
Dan aku juga akan menyoroti peran ganda seorang istri (mungkin ada juga yang masih menjadi anak) sekaligus sebagai tulang punggung keluarga. Entah sudah cerai/ditinggal mati/suami nya tak memiliki rasa tanggung jawab untuk menafkahi. Ia menjadi single fighter yang tak hanya berpikir bagaimana mendidik dan merawat anak seorang diri, urusan domestik, juga memikirkan bagaimana pos-pos pengeluaran itu bisa dicukupi.
Jelas, hal itu sangat menguras tenaganya. Alhasil, ia akan jadi lebih sibuk bekerja dan jauh dari pengurusan anak, atau semuanya ia kerjakan sampai ia merasa "Burn Out" dan kelelahan, akhirnya ia tak mampu mengontrol emosi, dilampiaskan ke anaknya yang sedang tantrum atau bahkan yang tak bersalah sekalipun, berselisih paham dengan suaminya di hadapan anak pun tak bisa dihindari.
Siapa yang menjadi korban setelahnya? Anaklah yang akan membawa seluruh trauma itu bahkan sampai ia dewasa. Muncullah rasa ketidakpercayaan, mencari pelarian, menganggap dirinya tak berguna, self esteem yang rendah, motivasi hidup dan prestasi akademik yang juga menjadi rendah. Akhirnya, muncullah banyak kerusakan sosial yang lain.
Memang betul, perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik, maka negara itu baik dan sebaliknya.
Tapi yang aku kritisi di sini adalah, jangan melulu segala tuntutan itu dibebankan pada pihak perempuan (lagi-lagi fenomena di masyarakat sangat keras mengecam kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sang ibu, contohnya dalam mendidik atau pemberian nutrisi kepada anaknya). Namun abai bahwa ada laki-laki (suami) yang justru harus bertanggung jawab atas hal tersebut, sebagai kepala rumah tangga.
Juga yang ingin aku tekankan adalah, mari menjadi manusia yang sadar akan peran masing-masing, mengevaluasi, dan belajar untuk memenuhi tiap fitrah kehidupannya.
Mungkin banyak juga yang tak mempermasalahkan apa yang aku bahas saat ini, karena menganggap hal tersebut adalah amal shalih yang mampu ia berikan. Ya, aku paham, setiap kebaikan pasti takkan pernah luput dari perhatian Allah. Tapi aku hanya melihat dari sisi yang lain.
---
Hanya sebatas pengamatan bocah sotoy atas apa yang terjadi di sekelilingnya.
Di dunia ini, manusia memiliki fitrahnya masing-masing ya? Fitrah menjadi seorang muslim, fitrah untuk cenderung menyukai segala kebaikan.
Pun yang berkaitan dengan jenis kelamin masing-masing, kita mengenalnya dengan fitrah seksualitas: maskulinitas atau feminitas.
Fitrah maskulinitas adalah segala hal yang berkaitan dengan "Kelaki-lakian": Qawwam, tanggung jawab nafkah, decision maker, problem solver, keamanan, ketercukupan, logika, tegas, kuat, berani, mandiri, dan segala hal yang menunjukkan kalau dia itu laki-laki banget.
Sedangkan fitrah feminitas adalah segala hal yang berkaitan dengan "Keperempuanan": kelembutan, kesabaran, kebaikan, merawat empati, kehangatan, keteduhan, ke-bergantungan, perasaan, dan segala hal mengenai ketenangan.
Perempuan itu adalah tanggung jawab ayahnya sebelum ia menikah dan menjadi tanggung jawab suaminya setelah menikah, hal ini menyangkut segala bentuk pertanggungjawaban baik perkara dosa hingga nafkah. Berat juga ya menjadi pemimpin itu, berat sekali pertanggungjawabannya karena kelak di akhirat yang akan dihisab adalah kepala keluarganya terlebih dahulu. Dan benarlah QS. At-Tahrim ayat 6 untuk saling menjaga keluarganya dari api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.
Contoh sukses keluarga yang diabadikan dalam Alquran adalah Keluarga Ibrahim dan Imran, cukup panjang kalau aku jelaskan saat ini. Semoga ada kesempatan untuk aku tuliskan selanjutnya.
Balik lagi ke bahasan yang saat ini aku angkat,
Perempuan tak memiliki kewajiban untuk bekerja. Bekerja hanya sebatas untuk menyalurkan hobi atau aktualisasi diri, bukan dititikberatkan untuk memperoleh nafkah, karena itu adalah tanggung jawab laki-laki yang menjadi wali/suaminya.
(Lalu, aku pun bekerja untuk apa ya? Apa yang hendak aku kejar?)
Tapi fenomena saat ini, banyak sekali aku temukan laki-laki yang tanggung jawabnya kurang atau bisa dibilang tak bertanggung jawab untuk mengurusi keluarganya. Tak memiliki perencanaan keuangan yang matang, hingga muncullah istilah generasi sandwich. Perempuan berlomba-lomba untuk bekerja: mencari uang sebanyak-banyaknya untuk menghidupi keluarganya.
Hal tersebut banyak sekali aku temukan, baik yang statusnya sebagai seorang anak atau sebagai istri. Lalu suaminya/ayahnya ngapain? Entahlah~
Aku tak habis pikir, perempuan bekerja untuk menafkahi keluarganya bukankah sebenarnya itu menyalahi fitrahnya? Dan oleh sebab itu pula justru fitrah maskulinitasnya yang semakin terasah tajam, hingga puncaknya adalah penyuaraan kesetaraan atau laki-laki tak lagi dianggapnya sebagai manusia penting dalam hidupnya. Ya saking mandirinya, hingga ia tak memerlukan sosok lelaki dalam hidupnya. Sangat menyalahi fitrah bukan? Na'udzubillah.
Dan aku juga akan menyoroti peran ganda seorang istri (mungkin ada juga yang masih menjadi anak) sekaligus sebagai tulang punggung keluarga. Entah sudah cerai/ditinggal mati/suami nya tak memiliki rasa tanggung jawab untuk menafkahi. Ia menjadi single fighter yang tak hanya berpikir bagaimana mendidik dan merawat anak seorang diri, urusan domestik, juga memikirkan bagaimana pos-pos pengeluaran itu bisa dicukupi.
Jelas, hal itu sangat menguras tenaganya. Alhasil, ia akan jadi lebih sibuk bekerja dan jauh dari pengurusan anak, atau semuanya ia kerjakan sampai ia merasa "Burn Out" dan kelelahan, akhirnya ia tak mampu mengontrol emosi, dilampiaskan ke anaknya yang sedang tantrum atau bahkan yang tak bersalah sekalipun, berselisih paham dengan suaminya di hadapan anak pun tak bisa dihindari.
Siapa yang menjadi korban setelahnya? Anaklah yang akan membawa seluruh trauma itu bahkan sampai ia dewasa. Muncullah rasa ketidakpercayaan, mencari pelarian, menganggap dirinya tak berguna, self esteem yang rendah, motivasi hidup dan prestasi akademik yang juga menjadi rendah. Akhirnya, muncullah banyak kerusakan sosial yang lain.
Memang betul, perempuan adalah tiang negara. Jika perempuannya baik, maka negara itu baik dan sebaliknya.
Tapi yang aku kritisi di sini adalah, jangan melulu segala tuntutan itu dibebankan pada pihak perempuan (lagi-lagi fenomena di masyarakat sangat keras mengecam kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sang ibu, contohnya dalam mendidik atau pemberian nutrisi kepada anaknya). Namun abai bahwa ada laki-laki (suami) yang justru harus bertanggung jawab atas hal tersebut, sebagai kepala rumah tangga.
Juga yang ingin aku tekankan adalah, mari menjadi manusia yang sadar akan peran masing-masing, mengevaluasi, dan belajar untuk memenuhi tiap fitrah kehidupannya.
Mungkin banyak juga yang tak mempermasalahkan apa yang aku bahas saat ini, karena menganggap hal tersebut adalah amal shalih yang mampu ia berikan. Ya, aku paham, setiap kebaikan pasti takkan pernah luput dari perhatian Allah. Tapi aku hanya melihat dari sisi yang lain.
---
Hanya sebatas pengamatan bocah sotoy atas apa yang terjadi di sekelilingnya.
Post a Comment