
Gerbang
25 April, 2023
•
0 comment {s}
Beberapa waktu silam, aku putuskan secara sadar untuk
mengunci gerbang itu rapat-rapat. Sebelumnya, aku hanya menutup gerbangnya saja dan tak mudah
bagiku untuk membukanya sembarangan. Sedikit sekali yang aku izinkan untuk memasuki pelataran dan
bahkan hingga aku jamu. Hanya segelintir dari teman-temanku untuk berkunjung dalam waktu singkat.
Bukan waktu yang sebentar, bukan hanya hitungan hari dan
bulan ternyata, aku mengunci gerbang itu. Gemboknya mulai usang dan berkarat
karena kerap kali dihujani air dan terik matahari. Letak kuncinya pun, aku tak
ingat betul dimana.
Pikirku kala itu, aku hanya akan membuka gerbangku, ketika
semua persiapan sudah mendekati sempurna. Sejauh ini, tak pernah ada jamuan serius di dalam gerbang.
Semuanya berakhir di depan gerbang tanpa berkesempatan untuk menilik sedikit
dari gambaran pelataranku.
Apakah aku terlalu sombong? Nampaknya tidak. Aku hanya tak ingin (walau hanya)
pelataranku, terumbar sembarangan dan menjadi buah bibir bagi yang lain.
Bagiku, itu adalah wilayah pribadi yang tak boleh dengan mudah dimasuki orang
lain.
Aku menutupnya dengan sadar, maka aku pun ingin membukanya
dengan sadar juga. Aku ingin membuka gerbang itu hanya untuk seorang saja. Sosok, siapapun ia, yang akan aku sambut kedatangannya dengan
gembira. Ah ya mungkin dengan sedikit tersipu malu.
Satuan waktu berlalu. Lantas, apakah ini saatnya untuk kumulai membuka gerbang
itu? Mengizinkan orang lain memasuki pelataranku dan menyuguhinya
dengan kopi dan gula di ruang tamu? Tapi, dimana kuncinya? Ah aku harus segera menemukannya!
Beberapa waktu silam, aku putuskan secara sadar untuk
mengunci gerbang itu rapat-rapat. Sebelumnya, aku hanya menutup gerbangnya saja dan tak mudah
bagiku untuk membukanya sembarangan. Sedikit sekali yang aku izinkan untuk memasuki pelataran dan
bahkan hingga aku jamu. Hanya segelintir dari teman-temanku untuk berkunjung dalam waktu singkat.
Bukan waktu yang sebentar, bukan hanya hitungan hari dan
bulan ternyata, aku mengunci gerbang itu. Gemboknya mulai usang dan berkarat
karena kerap kali dihujani air dan terik matahari. Letak kuncinya pun, aku tak
ingat betul dimana.
Pikirku kala itu, aku hanya akan membuka gerbangku, ketika
semua persiapan sudah mendekati sempurna. Sejauh ini, tak pernah ada jamuan serius di dalam gerbang.
Semuanya berakhir di depan gerbang tanpa berkesempatan untuk menilik sedikit
dari gambaran pelataranku.
Apakah aku terlalu sombong? Nampaknya tidak. Aku hanya tak ingin (walau hanya)
pelataranku, terumbar sembarangan dan menjadi buah bibir bagi yang lain.
Bagiku, itu adalah wilayah pribadi yang tak boleh dengan mudah dimasuki orang
lain.
Aku menutupnya dengan sadar, maka aku pun ingin membukanya
dengan sadar juga. Aku ingin membuka gerbang itu hanya untuk seorang saja. Sosok, siapapun ia, yang akan aku sambut kedatangannya dengan
gembira. Ah ya mungkin dengan sedikit tersipu malu.
Satuan waktu berlalu. Lantas, apakah ini saatnya untuk kumulai membuka gerbang
itu? Mengizinkan orang lain memasuki pelataranku dan menyuguhinya
dengan kopi dan gula di ruang tamu? Tapi, dimana kuncinya? Ah aku harus segera menemukannya!
Post a Comment