
Untuk Yang Tercinta
27 July, 2021
•
0 comment {s}
"Cinta, kemarilah. Aku sudah lelah, ingin sekali rebah."
***
Jarum jam membujur ke angka 12, tepat tengah malam. Sepasang mata bola yang sayu dengan kantong matanya yang payah nampak lemah menatap langit-langit kamar.
"Fiuuhhh". Helaan napasnya yang berat mencerminkan keadaan batinnya.
Gadis itu bangkit dan termenung di sudut kasurnya. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya kalut, ramai, juga bising. Hatinya bergemuruh, kakinya lunglai. Bagaimana tidak, sudah dua hari ini tak ada satu suap makanan pun ke dalam mulutnya. Hujan lebat malam ini, menusukkan angin malamnya dengan syahdu dari sela-sela dinding kamar, ventilasi dan jendela.
***
"Aku ini siapa? Apakah aku seperti apa yang mereka selalu teriakkan kepadaku? Aku tak bisa berkilah, pun aku akhirnya diam saja. Aku tak ingin jika aku membela diri justru mereka menjauhiku." Pikirannya berkelana, mengingat-ingat setiap catatan kehidupannya.
"Tap tip tap".
Jari jemarinya digerakkan di atas tombol saklar lampu tidurnya. Merebah, menarik selimut dan membukanya lagi. Gamang. Ia tak kunjung tidur jua. Setelah beberapa menit kebingungan, akhirnya ia paksakan untuk menutup kedua matanya.
***
"Tolong, tolong, jangan ikat aku! Jangan bunuh aku! Tolong, lepaskan aku, Nadira!" Nadira tersengal melihat sosok lain dirinya berwajah bengis.
"Untuk apa, Nadira? Lihat, apa gunanya hidupmu? Sebaiknya kau sudahi saja! Ada atau tanpa adanya dirimu, itu sama saja bagi mereka. Kau tetap sampah masyarakat!"
"Tolong, aku tidak mau! Tolong lepaskan aku! Toloooooonggggggg!"
Ia terbangun. Wajahnya pucat pasi, keringat mengucur deras. Kelumit pikirannya sebelum tidur, ternyata menariknya terlalu dalam hingga ke alam bawah sadar. Tatapannya menyapu ke sekeliling ruang kamarnya yang kemudian mendapati sebuah barang.
"Ah dapat!"
"Maafkan, Nadira, ayah, ibu." Belum sempat ia sayatkan cutter ke tangannya, ingatannya kembali dilayangkan pada pertemuan mentoring sebelumnya di sudut masjid kampus.
"Ukhti fillah, kita semua ingat bukan dengan firman-Nya dalam ayat terakhir surah Al-Baqarah yang menyebutkan bahwasanya, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan batas kesanggupannya? Ya begitulah Ia, jika Allah memberi ujian kepada kita selaku hamba-Nya, maka Allah tahu dan yakin bahwa kita sanggup untuk memikulnya."
"Ujian itu sarana untuk menaikkan derajat kita di hadapan-Nya dengan selalu teruntai sabar dan syukur. Ingatkah bagaimana kisah Nabi Zakaria yang telah berusia senja namun belum juga dikaruniai keturunan? Beliau tetap berprasangka baik atas setiap takdir-Nya, hal tersebut diabadikan dalam QS. Maryam ayat 4 bahwasanya beliau belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah. Doa yang kerap kali dilangitkan, doa sebagai wujud persaksian seorang hamba atas setiap kelemahannya di hadapan Tuhan. Ingat, akhwat, Ia sangat dekat. Katakan pada masalah yang besar, bahwa aku punya Allah yang Maha Kuasa. Bukankah penilaian seorang manusia itu hanya didasarkan pada dua yakni pada letak iman dan taqwanya? Semua sama di hadapan-Nya tak peduli miskin atau kayanya, cantik atau buruk rupanya, laki-laki maupun perempuan. Kesempatan itu terbuka luas untuk kita selaku hamba-Nya."
***
Ia rasakan kelopak matanya menghangat, air mata mengalir deras membasahi pipinya yang bersih. Ia lemparkan cutter yang telah digenggam erat dan bersegera mengambil air wudhu.
"Dini hari ini adalah titik balik. Bukti kesungguhanku sebagai hamba-Nya. Aku mencintai diriku, karena aku yakin Allah menciptakan setiap hamba-Nya dengan sebaik-baik bentuk. Ya aku yakin itu, bismillah. Semoga Allah bantu istiqomahkan perjalanan ini. Untuk yang tercinta, Nadhira Arsyi Azzahra, perjuangan ini untukmu."
Di atas hamparan sajadah dalam malam yang sunyi, gadis itu akhirnya larut dalam bermunajat kepada Tuhannya.
***
Salah satu tulisan yg dibukukan oleh Ellunar Publisher, alhamdulillah.
Labels: cerpen
"Cinta, kemarilah. Aku sudah lelah, ingin sekali rebah."
***
Jarum jam membujur ke angka 12, tepat tengah malam. Sepasang mata bola yang sayu dengan kantong matanya yang payah nampak lemah menatap langit-langit kamar.
"Fiuuhhh". Helaan napasnya yang berat mencerminkan keadaan batinnya.
Gadis itu bangkit dan termenung di sudut kasurnya. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya kalut, ramai, juga bising. Hatinya bergemuruh, kakinya lunglai. Bagaimana tidak, sudah dua hari ini tak ada satu suap makanan pun ke dalam mulutnya. Hujan lebat malam ini, menusukkan angin malamnya dengan syahdu dari sela-sela dinding kamar, ventilasi dan jendela.
***
"Aku ini siapa? Apakah aku seperti apa yang mereka selalu teriakkan kepadaku? Aku tak bisa berkilah, pun aku akhirnya diam saja. Aku tak ingin jika aku membela diri justru mereka menjauhiku." Pikirannya berkelana, mengingat-ingat setiap catatan kehidupannya.
"Tap tip tap".
Jari jemarinya digerakkan di atas tombol saklar lampu tidurnya. Merebah, menarik selimut dan membukanya lagi. Gamang. Ia tak kunjung tidur jua. Setelah beberapa menit kebingungan, akhirnya ia paksakan untuk menutup kedua matanya.
***
"Tolong, tolong, jangan ikat aku! Jangan bunuh aku! Tolong, lepaskan aku, Nadira!" Nadira tersengal melihat sosok lain dirinya berwajah bengis.
"Untuk apa, Nadira? Lihat, apa gunanya hidupmu? Sebaiknya kau sudahi saja! Ada atau tanpa adanya dirimu, itu sama saja bagi mereka. Kau tetap sampah masyarakat!"
"Tolong, aku tidak mau! Tolong lepaskan aku! Toloooooonggggggg!"
Ia terbangun. Wajahnya pucat pasi, keringat mengucur deras. Kelumit pikirannya sebelum tidur, ternyata menariknya terlalu dalam hingga ke alam bawah sadar. Tatapannya menyapu ke sekeliling ruang kamarnya yang kemudian mendapati sebuah barang.
"Ah dapat!"
"Maafkan, Nadira, ayah, ibu." Belum sempat ia sayatkan cutter ke tangannya, ingatannya kembali dilayangkan pada pertemuan mentoring sebelumnya di sudut masjid kampus.
"Ukhti fillah, kita semua ingat bukan dengan firman-Nya dalam ayat terakhir surah Al-Baqarah yang menyebutkan bahwasanya, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan batas kesanggupannya? Ya begitulah Ia, jika Allah memberi ujian kepada kita selaku hamba-Nya, maka Allah tahu dan yakin bahwa kita sanggup untuk memikulnya."
"Ujian itu sarana untuk menaikkan derajat kita di hadapan-Nya dengan selalu teruntai sabar dan syukur. Ingatkah bagaimana kisah Nabi Zakaria yang telah berusia senja namun belum juga dikaruniai keturunan? Beliau tetap berprasangka baik atas setiap takdir-Nya, hal tersebut diabadikan dalam QS. Maryam ayat 4 bahwasanya beliau belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Allah. Doa yang kerap kali dilangitkan, doa sebagai wujud persaksian seorang hamba atas setiap kelemahannya di hadapan Tuhan. Ingat, akhwat, Ia sangat dekat. Katakan pada masalah yang besar, bahwa aku punya Allah yang Maha Kuasa. Bukankah penilaian seorang manusia itu hanya didasarkan pada dua yakni pada letak iman dan taqwanya? Semua sama di hadapan-Nya tak peduli miskin atau kayanya, cantik atau buruk rupanya, laki-laki maupun perempuan. Kesempatan itu terbuka luas untuk kita selaku hamba-Nya."
***
Ia rasakan kelopak matanya menghangat, air mata mengalir deras membasahi pipinya yang bersih. Ia lemparkan cutter yang telah digenggam erat dan bersegera mengambil air wudhu.
"Dini hari ini adalah titik balik. Bukti kesungguhanku sebagai hamba-Nya. Aku mencintai diriku, karena aku yakin Allah menciptakan setiap hamba-Nya dengan sebaik-baik bentuk. Ya aku yakin itu, bismillah. Semoga Allah bantu istiqomahkan perjalanan ini. Untuk yang tercinta, Nadhira Arsyi Azzahra, perjuangan ini untukmu."
Di atas hamparan sajadah dalam malam yang sunyi, gadis itu akhirnya larut dalam bermunajat kepada Tuhannya.
***
Salah satu tulisan yg dibukukan oleh Ellunar Publisher, alhamdulillah.
Labels: cerpen
Post a Comment