blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Bukan Konsumsi Publik
Adakalanya
Perempuan Yang Merugi
Tanpa Arah
Kehidupan Setelah Kematian
Sorot Mata
Tentang Manusia
Tentang Waktu
Cinta
Untuk Yang Tercinta

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Mekar Setelah Patah
16 April, 2022 • 0 comment {s}



Mekar Setelah Patah

Karya: Aulia Suci Wardina

            “Cahaya! Selamat ya, kamu terpilih menjadi mahasiswa berprestasi. Bukumu dalam proses terbit, wajahmu hilir mudik di pamflet kajian, bulan lalu artikelmu juga sudah dipublikasi. Duuuhh siapa sih yang enggak jatuh hati sama sosok ukhtivis multitalent ini? Sudah cantik, pintar, baik hati pula. Ah paket lengkap deh!” Celoteh Kayla membuyarkan lamunanku.

            Eh, uhm, gimana, Kay?” Aku kikuk mendapati Kayla sudah duduk tepat di depanku.

            Tuh kan, kamu ngelamun. Pasti enggak nyimak deh tadi aku ngomong apa.” Cubitan Kayla mendarat tepat di atas punggung tanganku.

            Aw! Sakit, Kay. Maaf, boleh diulang tadi kamu ngomong apa?”

            Hm. Jujur ya, Aya, aku tuh kagum banget loh sama kamu. Kamu terlalu sempurna sebagai sahabat bagiku yang rombeng. Aku suka insecure loh, Ay selama temenan sama kamu.” Kayla mengulang pembicaraan dengan redaksi yang berbeda dari sebelumnya, lebih padat dan ringkas.

            “Alhamdulillah. Ini semua karunia Allah, Kay. Kay, mau aku ceritakan sesuatu? Aku belum pernah menceritakan ini pada siapapun.”

            Kayla tersanjung karena Cahaya bersedia membagikan kisah hidupnya, namun juga bingung dan penasaran dibuatnya.

            “Apa, Ay?”

            Langit mengabu, sendu. Dari atas balkon di sore hari, Kayla dengan sabar menunggu Cahaya mulai bercerita. Flashback.

            “Perjalanan hidupku sangat berliku, Kayla. Mungkin kamu gak akan menyangka. Kau tahu, orang tuaku saat ini adalah orang tua angkat. Eh maksudnya aku diangkat oleh mereka sebagai anak, terlebih mama. Mama sangat berjasa bagiku.” Cahaya mengawali kisahnya yang membuat air muka Kayla berubah, namun Kayla tetap mendengarkan dengan seksama.

            “Ayahku meninggal saat aku kelas tiga SD. Sejak saat itu, ibuku menjadi tulang punggung keluarga dan memiliki peran ganda. Ibuku pekerja serabutan yang pendapatan hariannya pun tak tentu. Kami hidup amat sangat sederhana di sebuah rumah kontrakan di dekat rel kereta. Teman-temanku adalah masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, ada juga yang hidup menggelandang. Kebanyakan dari mereka putus sekolah dan tak terurus. Aku pun tak jauh beda, namun ibuku berusaha dengan sangat supaya aku bisa sekolah, seminimalnya, bisa lulus SD. Saat SD aku sangat jauh tertinggal dibanding teman-temanku. Kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitungku sangat rendah. Aku sering direndahkan oleh teman-temanku dan tak jarang pula guru-guru memarahiku karena aku bebal. Tekanan batin? Iya, pasti! Aku melabeli diriku sebagai “Si Miskin Nan Bodoh”. Seringkali terbersit dalam pikiranku untuk putus sekolah kemudian mengamen atau meminta-minta saja, toh, aku bisa menghasilkan uang dengan cepat namun ibuku bersikeras melarangku dan mempertahankanku supaya aku bisa lanjut sekolah."

        "Di kelas lima, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit tentang pahitnya kehidupan, tak bisa kupungkiri kalau ternyata waktu itu mendewasakan seseorang. Aku bertekad untuk menjadi siswa yang berprestasi dan Allah membukakan jalan dengan dikirimnya sosok mulia bernama Bu Aisyah. Beliau dengan sabar mengajari aku yang masih terbata dalam membaca, gagap dalam berhitung, dan payah dalam menulis hingga aku mampu melejitkan potensiku di akhir semester. Aku juara kelas yang pada tahun berikutnya juga aku menjadi juara umum dengan nilai ujian nasional tertinggi se-Kecamatan. Tak jarang beliau juga memberikan bantuan berupa materi dan dukungan yang menghantarkanku untuk bersekolah di salah satu SMP favorit.” Aku menghela napas. Kayla mengubah posisi duduknya.

            “Di SMP, aku dikenal sebagai murid yang berprestasi. Label “Si Miskin Nan Bodoh” sudah kulepas sejak aku masuk SMP. Teman-temanku sangat banyak, namun aku mulai tenggelam dengan hingar bingar dunia. Aku semakin jarang mengingat-Nya. Frekuensi ibadahku menurun. Hingga akhirnya, Allah menegurku. Aku kehilangan penglihatanku. Duniaku ambruk, hancur berantakan. Aku hampir gila saat itu dan tidak mau menerima keadaan. Mengeluh, menghardik, dan meluapkan amarah menjadi keseharianku. Teman baikku, seperti lenyap ditelan gelapnya penglihatan. Orang-orang silih berganti menyalamiku dengan iba atas kondisi yang menimpaku. Aku dipindahkan ke sekolah luar biasa. Sejak saat itu, justru aku sangat merasakan kehadiran ibu yang juga sahabatku. Ibuku yang mengajarkanku arti keikhlasan yang dengan modal itulah aku berhasil menerima kondisi diriku sendiri. Aku jatuh dan terpuruk, namun uluran tangan ibu sangat panjang hingga mampu meraih kejatuhanku. Aku kembali bertekad menjadi siswa yang berprestasi, demi ibuku.” Kayla mengusap punggung tanganku memberi semangat dan kembali menyimak dengan serius.

            “Kamu pasti bertanya-tanya, mengapa sekarang aku bisa melihat?” Tanyaku pada Kayla yang diikuti dengan anggukan kepala tanda setuju.

            “Ibuku orang yang sangat baik hingga dengan kebaikannya sebagai pembuka rezeki dari Allah untuk kami. Saat itu ada seorang wanita yang ia temui lemas terkulai dan sesak napas di pinggir jalan. Ia dicopet. Ibuku menghampiri dan membawanya ke rumah sakit dengan sisa uang yang ia miliki. Kejadian tersebut yang mengantarkan ibuku memiliki pekerjaan tetap dan wanita tersebut adalah mama. Mama kagum dengan ketulusan hati ibu dan mungkin iba dengan kondisi kami, terkhusus aku yang buta. Kehidupan ibu dan aku jauh lebih baik. Mama sangat santun kepada kami dan kagum dengan prestasiku, ia membiayai segala kebutuhan sekolahku. Ibuku mampu melepas sedikit beban di punggungnya dan tersenyum lebih lega. Kuusap wajah ibuku dengan lembut, lekukan di wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Aku pun ikut tersenyum kala itu.”

            “Duniaku boleh saja gelap saat itu, namun Allah menggantikan penglihatan itu dengan kepekaan yang sangat tinggi pada diriku. Selama itu, aku hanya mampu melukiskan wajah ibu yang tersenyum dalam imajiku. Dekapannya sangat hangat, aromanya khas sebagai penanda keseriusannya dalam berjuang melawan pelik kehidupan.” Kubayangkan wajah ibu dan tumpahlah air mataku. Kayla mengelus bahuku lembut.

            “Di akhir masa SMA-ku, tepatnya saat masa transisi ke perkuliahan, Allah sangat menyayangi aku dan ibu. Aku ingat sekali, tepat setelah aku mengambil surat tanda kelulusan, mama mengabarkanku bahwasanya ibu muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Aku kalut, tidak biasanya ibu muntah darah. Ibuku didiagnosa menderita lambung kronis yang pasti dikarenakan ketidakteraturan pola makannya dahulu dimana ia lebih mementingkan kebahagiaanku, anaknya, daripada rasa laparnya hingga mungkin harus ia rasakan sakit dan melilit pada perutnya.” Aku sesenggukan.

            “Tiga hari di rumah sakit, tak membuat kondisi ibu membaik. Kata mama, ia terus muntah darah begitupun pada fesesnya yang bercampur darah.”

            “Hingga akhirnya, mataku mampu kembali terbuka, kali ini bukan dengan suasana gelap, melainkan dengan beragam warna secara perlahan. Aku bisa melihat. Tak lama berselang, mama memelukku bahagia dan menyampaikan kabar duka. Ibuku meninggal 2 jam sebelum aku operasi mata. Ibu ingin sekali aku bisa melihat dunia seperti sedia kala dan mama pun dengan kemurahanhatinya bersedia mengakomodasi segala biaya operasiku jika kelak ada pendonor yang bersedia mendonorkan korneanya, ternyata pendonor tersebut adalah ibu. Pilu. Aku hanya bisa mematung. Duniaku seperti hancur kesekian kalinya.” Aku tak kuasa, aku menangis setengah menjerit. Kayla pun memelukku erat.

            “Dalam kesakitannya, ibu masih mengkhawatirkanku, hingga ibu memohon dengan sangat kepada mama untuk mengangkatku sebagai anaknya dan mama pun menyetujui. Hubungan keduanya bukan lagi sebatas hubungan majikan dan asistennya, lebih jauh dari itu seperti kakak dan adik.”

***

            Ingatanku melayang bersamaan dengan apa yang telah kuceritakan pada Kayla. Pada saat itu, mama memberikan surat titipan ibu yang kemudian segera kubaca.

            “Cahaya tanpa cahaya tak melulu gelap gulita. Cahaya di atas cahaya, penuntun hati memahami semesta. Hati yang bersih tanpa hingar bingar semata, murni mengais asih-Nya. Cahaya, cahaya hati ibu. Ibu bahagia jika kamu bisa membaca surat ini. Jangan larut dalam kesedihan ya, nak. Dalam doa-doa panjang, ibu berharap supaya kelak Cahaya bisa menjadi cahaya bagi sekitar yang banyak memberikan kebermanfaatan.”

            Lagi, aku terguncang. Surat tersebut kembali menyadarkanku bahwa ibu telah tiada. Kuhampiri jasadnya yang terbujur kaku, kudapati wajahnya indah terlukis senyum.

            “Akhirnya aku bisa melihat ibu lagi setelah tiga tahun aku hanya bisa meraba muka ibu saja. Ibu masih tetap cantik seperti dulu.”

            Kupeluk lalu kubelai wajah ibu dengan belaian lembut untuk terakhir kalinya. Aku turut memandikan, mengafani, serta menyolati jenazah ibu, lalu kubisikkan tepat di telinga ibu.

            “Bu, terima kasih atas segala pengorbanan yang ibu berikan untuk Aya, anakmu. Hingga akhir hayatmu, ibu masih memikirkan kebahagiaan Aya, ibu masih berusaha memberikan apa yang bisa ibu berikan untuk Aya. Selama ini, Aya lebih sering merepotkan ibu dan takkan bisa Aya balas setiap perjuangan ibu. Bu, walaupun ruh ibu telah berpisah dari jasad, namun ibu akan selalu ada di relung hati Aya. Bu, semoga Aya dapat menjadi seseorang yang tidak hanya mampu memberikan kebanggaan di dunia, namun juga bisa menjadi amal jariyah di akhirat kelak. Bu, Aya akan selalu ingat dengan ibu. Aya bertekad untuk terus taat kepada Allah, dan menjadi bagian dari keluarga-Nya, semoga Allah pertemukan ibu, ayah, dan Aya di syurga-Nya kelak dengan dipakaikan jubah kehormatan. Aya ingin menebar manfaat lebih luas lagi, Aya ingin membantu sesama, Aya tidak ingin menyia-nyiakan segala perjuangan ibu, semoga Aya bisa menjadi Muslimah berdaya guna, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga bagi banyak orang.”

***

            “Ternyata kisah hidup Aya luar biasa. Allah pasti sudah menakar untuk memberikan semua ini bagi Aya dan terbukti Aya berhasil sabar menaiki setiap proses pendewasaan diri itu. Atas kesabaran Aya, Allah meninggikan derajat di dunia, salah satunya lewat ilmu.” Perkataan Kayla mampu meredam gemuruh di dada. Aku pun menyeka bulir-bulir air mata yang masih membasahi pipi.

            “Terima kasih, Kayla.”

            “Iya, sama-sama. Berkat tekad dan dukungan yang luar biasa menjadikan Aya sebagai sosok yang luar biasa yang aku juga sangat terinspirasi darimu. Seorang muslimah yang mampu mewujudkan setiap mimpi dalam kehidupannya: mahasiswa berprestasi, ukhtivis yang mampu mendayakan banyak orang, penulis ulung yang tajam dan kritis, namun banyak juga yang menyentuh hati, menggugah dan mengubah pembacanya. Aya supel, cantik, dan lembut. Di sela-sela kesibukan, Aya masih meluangkan waktunya sebagai hamba: bermujahadah memberi kado special untuk kedua orangtua dengan menghafalkan dan mengamalkan kalam-Nya. Hayooo… kurang apalagi aku mengobservasi kamu? Hehehe.”

            Wah, jangan-jangan kamu intel ya?” Aya terkekeh mendengar celoteh Kayla yang baginya terlalu berlebihan.

            “Bagiku, pujian itu ujian. Kita harus senantiasa menjaga niat dalam setiap keberjalanan hidup. Untuk apa kita berjuang dan untuk siapa? Semoga hanyalah untuk Allah, Rasul, orang tua, bangsa, dan agama. Aamiin.”

            “Aku juga ngefans banget loh sama kamu, Kay!” Seruku.

            Ah masa iya?” Ledek Kayla.

            “Iya serius loh, tapi nanti kalau kuberi tahu, kamu malah jadi geer lagi. Hehe. Nanti aja ya, kapan-kapan. Sudah maghrib, yuk masuk.”

            Percakapan sore itu ditutup rapat oleh tenggelamnya matahari yang semburatnya malu-malu di ufuk barat.

            Patah bukan berarti mati.

            Patah bukan berarti sepi.

            Patah tak melulu tentang meratapi.

            Akan ada sesuatu yang mekar setelah patah.

            Demi kehidupan abadi.

---

Draft tulisan 14/11/2020

Labels:



Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer