Mekar
Setelah Patah
Karya:
Aulia Suci Wardina
“Cahaya! Selamat ya, kamu terpilih
menjadi mahasiswa berprestasi. Bukumu dalam proses terbit, wajahmu hilir mudik
di pamflet kajian, bulan lalu artikelmu juga sudah dipublikasi. Duuuhh
siapa sih yang enggak jatuh hati sama sosok ukhtivis
multitalent ini? Sudah cantik, pintar, baik hati pula. Ah paket
lengkap deh!” Celoteh Kayla membuyarkan lamunanku.
“Eh, uhm, gimana, Kay?” Aku
kikuk mendapati Kayla sudah duduk tepat di depanku.
“Tuh kan, kamu ngelamun.
Pasti enggak nyimak deh tadi aku ngomong apa.” Cubitan Kayla
mendarat tepat di atas punggung tanganku.
“Aw! Sakit, Kay. Maaf, boleh
diulang tadi kamu ngomong apa?”
“Hm. Jujur ya, Aya, aku tuh
kagum banget loh sama kamu. Kamu terlalu sempurna sebagai sahabat
bagiku yang rombeng. Aku suka insecure loh, Ay selama temenan
sama kamu.” Kayla mengulang pembicaraan dengan redaksi yang berbeda dari
sebelumnya, lebih padat dan ringkas.
“Alhamdulillah. Ini semua karunia
Allah, Kay. Kay, mau aku ceritakan sesuatu? Aku belum pernah
menceritakan ini pada siapapun.”
Kayla tersanjung karena Cahaya
bersedia membagikan kisah hidupnya, namun juga bingung dan penasaran dibuatnya.
“Apa, Ay?”
Langit mengabu, sendu. Dari atas
balkon di sore hari, Kayla dengan sabar menunggu Cahaya mulai bercerita. Flashback.
“Perjalanan hidupku sangat berliku,
Kayla. Mungkin kamu gak akan menyangka. Kau tahu, orang tuaku saat ini
adalah orang tua angkat. Eh maksudnya aku diangkat oleh mereka sebagai
anak, terlebih mama. Mama sangat berjasa bagiku.” Cahaya mengawali kisahnya
yang membuat air muka Kayla berubah, namun Kayla tetap mendengarkan dengan
seksama.
“Ayahku meninggal saat aku kelas tiga SD. Sejak saat itu, ibuku menjadi tulang punggung keluarga dan memiliki peran ganda. Ibuku pekerja serabutan yang pendapatan hariannya pun tak tentu. Kami hidup amat sangat sederhana di sebuah rumah kontrakan di dekat rel kereta. Teman-temanku adalah masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, ada juga yang hidup menggelandang. Kebanyakan dari mereka putus sekolah dan tak terurus. Aku pun tak jauh beda, namun ibuku berusaha dengan sangat supaya aku bisa sekolah, seminimalnya, bisa lulus SD. Saat SD aku sangat jauh tertinggal dibanding teman-temanku. Kemampuan dalam membaca, menulis, dan berhitungku sangat rendah. Aku sering direndahkan oleh teman-temanku dan tak jarang pula guru-guru memarahiku karena aku bebal. Tekanan batin? Iya, pasti! Aku melabeli diriku sebagai “Si Miskin Nan Bodoh”. Seringkali terbersit dalam pikiranku untuk putus sekolah kemudian mengamen atau meminta-minta saja, toh, aku bisa menghasilkan uang dengan cepat namun ibuku bersikeras melarangku dan mempertahankanku supaya aku bisa lanjut sekolah."
"Di kelas lima, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit
tentang pahitnya kehidupan, tak bisa kupungkiri kalau ternyata waktu itu
mendewasakan seseorang. Aku bertekad untuk menjadi siswa yang berprestasi dan
Allah membukakan jalan dengan dikirimnya sosok mulia bernama Bu Aisyah. Beliau
dengan sabar mengajari aku yang masih terbata dalam membaca, gagap dalam
berhitung, dan payah dalam menulis hingga aku mampu melejitkan potensiku di
akhir semester. Aku juara kelas yang pada tahun berikutnya juga aku menjadi
juara umum dengan nilai ujian nasional tertinggi se-Kecamatan. Tak jarang beliau
juga memberikan bantuan berupa materi dan dukungan yang menghantarkanku untuk
bersekolah di salah satu SMP favorit.” Aku menghela napas. Kayla mengubah
posisi duduknya.
“Di SMP, aku dikenal sebagai murid
yang berprestasi. Label “Si Miskin Nan Bodoh” sudah kulepas sejak aku masuk
SMP. Teman-temanku sangat banyak, namun aku mulai tenggelam dengan hingar
bingar dunia. Aku semakin jarang mengingat-Nya. Frekuensi ibadahku menurun.
Hingga akhirnya, Allah menegurku. Aku kehilangan penglihatanku. Duniaku ambruk,
hancur berantakan. Aku hampir gila saat itu dan tidak mau menerima keadaan.
Mengeluh, menghardik, dan meluapkan amarah menjadi keseharianku. Teman baikku,
seperti lenyap ditelan gelapnya penglihatan. Orang-orang silih berganti
menyalamiku dengan iba atas kondisi yang menimpaku. Aku dipindahkan ke sekolah
luar biasa. Sejak saat itu, justru aku sangat merasakan kehadiran ibu yang
juga sahabatku. Ibuku yang mengajarkanku arti keikhlasan yang dengan modal
itulah aku berhasil menerima kondisi diriku sendiri. Aku jatuh dan terpuruk,
namun uluran tangan ibu sangat panjang hingga mampu meraih kejatuhanku. Aku
kembali bertekad menjadi siswa yang berprestasi, demi ibuku.” Kayla mengusap
punggung tanganku memberi semangat dan kembali menyimak dengan serius.
“Kamu pasti bertanya-tanya, mengapa
sekarang aku bisa melihat?” Tanyaku pada Kayla yang diikuti dengan anggukan
kepala tanda setuju.
“Ibuku orang yang sangat baik hingga
dengan kebaikannya sebagai pembuka rezeki dari Allah untuk kami. Saat itu ada
seorang wanita yang ia temui lemas terkulai dan sesak napas di pinggir jalan.
Ia dicopet. Ibuku menghampiri dan membawanya ke rumah sakit dengan sisa uang
yang ia miliki. Kejadian tersebut yang mengantarkan ibuku memiliki pekerjaan
tetap dan wanita tersebut adalah mama. Mama kagum dengan ketulusan hati ibu dan
mungkin iba dengan kondisi kami, terkhusus aku yang buta. Kehidupan ibu dan aku
jauh lebih baik. Mama sangat santun kepada kami dan kagum dengan prestasiku, ia
membiayai segala kebutuhan sekolahku. Ibuku mampu melepas sedikit beban
di punggungnya dan tersenyum lebih lega. Kuusap wajah ibuku dengan lembut,
lekukan di wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Aku pun ikut tersenyum kala itu.”
“Duniaku boleh saja gelap saat itu,
namun Allah menggantikan penglihatan itu dengan kepekaan yang sangat tinggi
pada diriku. Selama itu, aku hanya mampu melukiskan wajah ibu yang tersenyum
dalam imajiku. Dekapannya sangat hangat, aromanya khas sebagai penanda
keseriusannya dalam berjuang melawan pelik kehidupan.” Kubayangkan wajah ibu dan
tumpahlah air mataku. Kayla mengelus bahuku lembut.
“Di akhir masa SMA-ku, tepatnya saat
masa transisi ke perkuliahan, Allah sangat menyayangi aku dan ibu. Aku ingat
sekali, tepat setelah aku mengambil surat tanda kelulusan, mama mengabarkanku
bahwasanya ibu muntah darah dan dilarikan ke rumah sakit. Aku kalut, tidak
biasanya ibu muntah darah. Ibuku didiagnosa menderita lambung kronis yang pasti
dikarenakan ketidakteraturan pola makannya dahulu dimana ia lebih mementingkan
kebahagiaanku, anaknya, daripada rasa laparnya hingga mungkin harus ia rasakan
sakit dan melilit pada perutnya.” Aku sesenggukan.
“Tiga hari di rumah sakit, tak
membuat kondisi ibu membaik. Kata mama, ia terus muntah darah begitupun pada
fesesnya yang bercampur darah.”
“Hingga akhirnya, mataku mampu
kembali terbuka, kali ini bukan dengan suasana gelap, melainkan dengan beragam
warna secara perlahan. Aku bisa melihat. Tak lama berselang, mama memelukku bahagia
dan menyampaikan kabar duka. Ibuku meninggal 2 jam sebelum aku operasi mata.
Ibu ingin sekali aku bisa melihat dunia seperti sedia kala dan mama pun dengan
kemurahanhatinya bersedia mengakomodasi segala biaya operasiku jika kelak ada
pendonor yang bersedia mendonorkan korneanya, ternyata pendonor tersebut adalah
ibu. Pilu. Aku hanya bisa mematung. Duniaku seperti hancur kesekian
kalinya.” Aku tak kuasa, aku menangis setengah menjerit. Kayla pun memelukku erat.
“Dalam kesakitannya, ibu masih
mengkhawatirkanku, hingga ibu memohon dengan sangat kepada mama untuk
mengangkatku sebagai anaknya dan mama pun menyetujui. Hubungan keduanya bukan
lagi sebatas hubungan majikan dan asistennya, lebih jauh dari itu seperti kakak
dan adik.”
***
Ingatanku melayang bersamaan dengan
apa yang telah kuceritakan pada Kayla. Pada saat itu, mama memberikan surat
titipan ibu yang kemudian segera kubaca.
“Cahaya tanpa cahaya tak melulu
gelap gulita. Cahaya di atas cahaya, penuntun hati memahami semesta. Hati yang
bersih tanpa hingar bingar semata, murni mengais asih-Nya. Cahaya, cahaya hati
ibu. Ibu bahagia jika kamu bisa membaca surat ini. Jangan larut dalam kesedihan
ya, nak. Dalam doa-doa panjang, ibu berharap supaya kelak Cahaya bisa menjadi
cahaya bagi sekitar yang banyak memberikan kebermanfaatan.”
Lagi, aku terguncang. Surat tersebut
kembali menyadarkanku bahwa ibu telah tiada. Kuhampiri jasadnya yang terbujur
kaku, kudapati wajahnya indah terlukis senyum.
“Akhirnya aku bisa melihat ibu lagi
setelah tiga tahun aku hanya bisa meraba muka ibu saja. Ibu masih tetap cantik
seperti dulu.”
Kupeluk lalu kubelai wajah ibu
dengan belaian lembut untuk terakhir kalinya. Aku turut memandikan, mengafani,
serta menyolati jenazah ibu, lalu kubisikkan tepat di telinga ibu.
“Bu, terima kasih atas segala
pengorbanan yang ibu berikan untuk Aya, anakmu. Hingga akhir hayatmu, ibu masih
memikirkan kebahagiaan Aya, ibu masih berusaha memberikan apa yang bisa ibu
berikan untuk Aya. Selama ini, Aya lebih sering merepotkan ibu dan takkan bisa Aya
balas setiap perjuangan ibu. Bu, walaupun ruh ibu telah berpisah dari jasad,
namun ibu akan selalu ada di relung hati Aya. Bu, semoga Aya dapat menjadi seseorang
yang tidak hanya mampu memberikan kebanggaan di dunia, namun juga bisa menjadi
amal jariyah di akhirat kelak. Bu, Aya akan selalu ingat dengan ibu. Aya bertekad
untuk terus taat kepada Allah, dan menjadi bagian dari keluarga-Nya, semoga
Allah pertemukan ibu, ayah, dan Aya di syurga-Nya kelak dengan dipakaikan jubah
kehormatan. Aya ingin menebar manfaat lebih luas lagi, Aya ingin membantu
sesama, Aya tidak ingin menyia-nyiakan segala perjuangan ibu, semoga Aya bisa
menjadi Muslimah berdaya guna, bukan hanya untuk diri sendiri, namun juga bagi
banyak orang.”
***
“Ternyata kisah hidup Aya luar
biasa. Allah pasti sudah menakar untuk memberikan semua ini bagi Aya dan
terbukti Aya berhasil sabar menaiki setiap proses pendewasaan diri itu. Atas
kesabaran Aya, Allah meninggikan derajat di dunia, salah satunya lewat ilmu.”
Perkataan Kayla mampu meredam gemuruh di dada. Aku pun menyeka bulir-bulir air
mata yang masih membasahi pipi.
“Terima kasih, Kayla.”
“Iya, sama-sama. Berkat tekad dan
dukungan yang luar biasa menjadikan Aya sebagai sosok yang luar biasa yang aku
juga sangat terinspirasi darimu. Seorang muslimah yang mampu mewujudkan setiap
mimpi dalam kehidupannya: mahasiswa berprestasi, ukhtivis yang mampu
mendayakan banyak orang, penulis ulung yang tajam dan kritis, namun banyak juga
yang menyentuh hati, menggugah dan mengubah pembacanya. Aya supel, cantik, dan
lembut. Di sela-sela kesibukan, Aya masih meluangkan waktunya sebagai hamba: bermujahadah
memberi kado special untuk kedua orangtua dengan menghafalkan dan
mengamalkan kalam-Nya. Hayooo… kurang apalagi aku mengobservasi kamu? Hehehe.”
“Wah, jangan-jangan kamu
intel ya?” Aya terkekeh mendengar celoteh Kayla yang baginya terlalu
berlebihan.
“Bagiku, pujian itu ujian. Kita
harus senantiasa menjaga niat dalam setiap keberjalanan hidup. Untuk apa kita
berjuang dan untuk siapa? Semoga hanyalah untuk Allah, Rasul, orang tua, bangsa,
dan agama. Aamiin.”
“Aku juga ngefans banget loh sama
kamu, Kay!” Seruku.
“Ah masa iya?” Ledek Kayla.
“Iya serius loh, tapi nanti
kalau kuberi tahu, kamu malah jadi geer lagi. Hehe. Nanti aja
ya, kapan-kapan. Sudah maghrib, yuk masuk.”
Percakapan sore itu ditutup rapat
oleh tenggelamnya matahari yang semburatnya malu-malu di ufuk barat.
Patah bukan berarti mati.
Patah bukan berarti sepi.
Patah tak melulu tentang meratapi.
Akan ada sesuatu yang mekar setelah
patah.
Demi kehidupan abadi.
---
Draft tulisan 14/11/2020
Labels: cerpen
Post a Comment