blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Semua Akan Indah Pada Waktunya
Tuhan dan Rahasia
Tidak Sekarang
Nasihat Kegalauan
Ukhuwah Islamiyah Itu

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Payung Asa
29 October, 2018 • 0 comment {s}





   Hujan deras mengguyur  kota sepi yang seperti tak bertuan itu. Nampak di pinggir jalan terdapat siluet hitam yang tengah mengenakan payung. Ternyata seorang gadis yang berperawakan semampai tengah berdiri tanpa memedulikan bunyi yang dihasilkan dari butiran hujan yang mengenai payungnya. 
   Jalanan itu sepi sekali, tak ada kendaraan yang lalu lalang seperti di jalanan kota biasanya. Hujan makin deras, namun gadis itu tetap tak bergeming. Berdiri seolah-olah tulangnya terbuat dari baja. Sudah hampir tiga bulan ia melakukan kegiatan seperti ini, berdiri di pinggir jalan di sudut kota. Kota tua berhias bangunan tua bergaya klasik nampaknya kini menjadi teman barunya. Sepatunya mulai basah dan seluruh tubuhnya mulai kedinginan, ia mulai membiru.  Gadis itu aku.
   Hari pertama bersama dengan hujan aku berdiri di pinggir jalan yang sama. Orang-orang sudah mengenaliku sebagai sosok tak bernama, ya karena memang tidak ada yang tahu siapa namaku. Tak ada yang menanyakan namaku. Jangankan menanyakan namaku, berjalan melewatiku sambil merekahkan senyumnya saja jarang apalagi menanyakan namaku. Aku seperti alien yang tak mampu berbicara. Ingin bicara dengan siapa? Dengan tembok? Ah nampaknya sebentar lagi tembok-tembok itu akan menjadi saksi bisu dimana aku mengutarakan pendapat melalui telepati antar anggota. 
   Berdiri, duduk, dan berdiri lagi di trotoar akan menjadi hal terindah di hidupku. Karena di tempat ini, akan ada kenangan manis yang karenanya aku sabar menanti tanpa kepastian. Lampu jalan mulai dinyalakan, sudah malam ternyata. Aku pulang tanpa hasil. Nihil. 
   Hari kedua, hari ketiga, sampai hampir tiga bulan aku menjadi penjaga trotoar pinggir jalan. Menunggu tanpa kepastian berharap ada keajaiban. Tak peduli seberapa dinginnya udara luar yang menyergap tubuhku. Menunggu dan terus menunggu.
   Saat ini, kota tuaku tengah memasuki musim penghujan dimana hampir setiap hari hujan mengguyur kota. Bangunan tua yang dulunya terlihat gagah, kini sudah lesu tak bersemangat hanya ada debu dan sarang laba-laba di sudut-sudut bangunan. Dan hilang ketika terguyur hujan. Sangat sedikit pengendara yang berlalu lalang sehingga kota yang aku tinggali ini dijuluki kota mati. Awan terus memuntahkan airnya dengan amat bersemangat. Sebagian penduduk pindah ke kota lain dengan anggapan akan mendapatkan pekerjaan dan perasaan yang lebih baik. 
   Wangi air hujan yang jatuh ke tanah mulai tercium, begitu juga pipiku yang telah disapa hujan lebih dulu dari anggota tubuh lainnya. Aku pun membuka payung yang menjadi temanku menanti asa.  Di pinggir trotoar yang sepi ini aku berdiri. Beratapkan payung dan beralaskan jalanan trotoar. Seketika aku lihat kendaraan lewat di depanku, berharap sosok yang kunantikan selama ini datang. Sekelebat bayangan indah dibuyarkan oleh teriakan bangunan tua yang seolah-olah mencemoohku dan tak lagi bersahabat denganku. Rok yang aku kenakan sedikit berkibar dikarenakan tiupan angin yang cukup besar. 
   Lagi-lagi kota ini masih sepi. Rasanya aku ingin pindah. Di sini sepi, pencahayaan terbatas, tak ada suara tertawa anak-anak yang tengah bermain. Satu dua orang ku dapati mereka dengan wajah lesu dan tak bersemangat. Sisanya mungkin ada di rumah atau ada di kota lain yang entah dimana.
   Penantianku belum membuahkan hasil hingga akhir tanggal 28 ini. Aku merasa sia-sia saja melakukan hal ini. Seketika aku teringat hari dimana aku mendapatkan surat itu. Bahagianya kala itu dan aku langsung ke luar rumah menunggu di pinggir jalan. Berharap sosok itu datang. 
   Langit cerah hingga berubah gelap menemaniku menunggu, debu jalan, dan bangunan tua mendukung apa yang aku lakukan ini. 
   “Kapan ke sini, Bu? Aku lelah menunggu. Penantian ini cukup lama, sudah hampir tiga bulan tapi ibu tidak datang juga.”
  “Apakah surat itu hanya untuk membuatku senang saja? Tapi mengapa ibu tega membiarkan aku kedinginan di pinggir jalan raya seorang diri?”
Aku kecewa. Gedung-gedung tua menatapku sedih. Hujan bertambah deras seakan mengerti apa yang aku rasa.
   “Aku tidak ingin melakukan hal ini lagi.”
   Tak lama, akhirnya aku berbalik arah dan kuputuskan untuk pulang. Bahuku disentuh setelah beberapa langkah menjauh dari trotoar itu. Ketika menoleh, kudapati sosok paruh baya tengah berdiri di dekatku. Ibu!

-Bandung, 08 Nop 2016

Labels:



Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer