"Pembohong!" Celetuk seseorang yang tiba-tiba menghampiriku.
Aku terperangah, karena saat itu aku hanya duduk seorang diri. Celetukan itu membuyarkan semua lamunanku.
"Apa maksudmu?!" Agak geram kutanyakan maksud pertanyaannya.
"Aku tahu kamu tidak sedang dalam kondisi yang baik-baik saja. Kenapa kau membohongi banyak orang? Apa kau juga membohongi dirimu sendiri?" Rentetan pertanyaannya membuatku tak nyaman.
"Aku baik-baik saja."
"Bohong!" Ia tetap menyangkal jawabanku.
"Lalu, kau ingin aku menjawab apa, hah? Bilang kalau aku sedang tidak baik-baik saja ke semua orang? Menangis meraung-raung? Curhat ke setiap orang yang aku temui? Mengatakan ke semua orang bahwa akulah manusia yang paling apes dan menyedihkan? Apa seperti itu?" Kali ini rentetan serangan balik dariku membuatnya tak berkutik dan hanya dibalas dengan helaan napas.
"Lagi pula, tak ada gunanya." Imbuhku lagi.
"Jawab pertanyaanku! Bagaimana rasanya bertumpu pada satu kaki?" Kali ini ia bertanya dengan lebih tenang. Bagiku, itu hanyalah pertanyaan retoris yang sebenarnya tak perlu aku jawab.
"Menurutmu?" Aku balik bertanya.
Ia terdiam.
"Tidak mudah. Aku pincang." Tambahku kemudian.
"Lalu, apa yang bisa kubantu?" Tanyanya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Ah aku tak suka suasana seperti ini, air mata yang sudah kutahan sejak lama bisa-bisa tumpah saat ini juga.
"Tidak ada." Jawabku singkat.
"Jika tak ada yang bisa kubantu, bolehkah aku mendengarkan apa yang menjadikan dadamu sesak? Setidaknya kamu tak menahannya sendirian." Imbuhnya lagi.
"Katamu tadi, aku bertumpu pada satu kaki saja, kan? Aku pincang. Aku, kerap kali merasa tak seimbang. Seringnya aku tersungkur dan sulit untuk tegak berdiri seperti sedia kala."
"Bisakah aku menjadi kakimu yang satu lagi? Aku ingin bisa menjadi tumpuanmu juga." Tanyanya kali ini yang benar-benar membuat kelopak mataku menghangat.
"Tidak perlu. Kau hanya perlu fokus dengan dirimu saja. Biarkan ini menjadi urusanku. Aku sudah bertahan sejauh ini, aku harus terus berjalan walaupun benar-benar tidak mudah." Kuseka beberapa bulir air mata yang mulai turun.
"Ah lemah sekali. Maaf." Kupandangi ia yang tersenyum getir menatapku.
"Lalu apa yang selanjutnya akan kau pilih? Apakah kau akan tetap bertahan dengan satu kaki? Atau mengubah haluan perjalananmu?" Tanyanya lagi yang menyadarkanku.
"Tidak tahu. Tak banyak pilihan. Doakan saja, ya!"
"Apapun hal yang kelak akan menghampirimu, semoga itu adalah takdir terbaik yang telah Allah gariskan untukmu." Perkataannya kembali mengingatkanku akan konsep takdir Tuhan.
"Hei, apa boleh aku menangis sebentar saja?" Tanyaku.
"Boleh. Sangat boleh. Menangislah di bahuku, hingga kau merasa lebih tenang."
"Terima kasih."
Hingga akhirnya aku pun melebur dalam dekap.
Labels: cerpen
Post a Comment