blog follow
Apa yang tak mampu diucapkan oleh lisan, mampu dirasakan oleh hati, dan diterjemahkan melalui tulisan. Selamat bergabung menjadi teman cerita!

Tentang Seorang Lelaki
Keadilan Sosial Bagi Warga Good Looking
Saat Hidayah Menyapa
Perempuan Paling Bahagia
Menikmati Perjalanan
Sejenak Melihat Sekitar
Selamatnya Lidah yang Tak Bertulang
Resume Buku Leiden
Let's Break the Limit
Payung Asa

Skin By : Adam Faiz
Edited By : Me
Colour Code : HTML COLOUR
Big Help : Wanaseoby


Cinta Kebebasan Tak Bertuan
28 November, 2020 • 0 comment {s}


            Gelap. Gang ini gelap. Penglihatanku remang-remang, namun masih mampu kudapati seberkas cahaya di ujung gang. Badanku terasa remuk, pelipisku dibanjiri darah, sudut bibirku terasa nyeri sekali.

            “Sebentar, aku ini dimana?”

            “Apa aku masih hidup atau sudah mati?”

            Aku mampu kembali sadar. Kutatap sekeliling, sepi. Kudapati seorang perempuan tergeletak dan tak sadarkan diri tepat beberapa meter di depanku.

            “Sarah!” Pekikku kaget.

            “Dalam ketidakberdayaanku kali ini, aku percaya Engkau ada. Engkau memberi kesempatan bagiku sekali lagi untuk tetap bernapas. Kau masih membiarkanku hidup. Tolong beri aku kekuatan, aku tidak akan biarkan Sarah sekarat!” Aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki dan segera kuraih tubuh Sarah yang penuh lebam dan bibir pucat.

            “Tolong! Tolong beri kami kesempatan satu kali lagi, Ya Allah! Izinkan kami untuk menjadi pejuang dalam menegakkan agama-Mu.” Jeritku penuh harap dari lubuk hati terdalam.

***

            “Seorang perempuan masa kini, udah bukan jamannya lagi ada di ketiak laki-laki yang hanya mengurusi sumur, dapur, dan kasur. Ciiih!” Seorang perempuan dengan rambut tergerai mengenakan kaos oblong putih dengan beraninya berbicara di suatu debat terbuka.

            “Dimana letak keadilan Tuhan untuk kami para perempuan? Kami ingin kebebasan! Jangan apa-apa agama, ini-itu agama, duh capek deh! Agama kok ngatur banget ya!”

            “Kami ini menuntut kesetaraan! Perempuan ditindas, dilecehkan, dibatasi haknya, dan hanya dijadikan sebagai objek bagi laki-laki. Apakah kalian setuju puan?” Lanjutnya lagi dan dilanjutkan dengan soraknya yang sangat bergelora.

            “Setuju!”

            “Ya, betul!”

            “Sangat betul kak! Agama menyulitkan saja!”

            Suasana menjadi ramai riuh seperti sedang menabuh genderang perang saja. Aku terbawa suasana juga, menggebu-gebu, dan ingin sekali menyuarakan tentang kebebasan perempuan. Selama ini aku melihat ibu hanya menjadi korban kekerasan ayah di rumah, ibu pula yang menjadi tulang punggung keluarga. Aku tak tega jika mengingat kejadian tersebut dan kini beliau telah tiada.

            Aku murka dan sangat kesal dengan ayahku yang bagiku beliau adalah penyebab kematian ibu. Aku merasa Tuhan tidak adil menuliskan garis kehidupanku sehingga kuputuskan untuk mencari tempat pelarian yang bisa memberikan empati atas apa yang sedang aku rasakan. Ya, aku bergabung ke suatu paguyuban yang membela hak-hak perempuan atau sering dibilang dengan perkumpulan para feminis. Bak sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, aku pun dikenalkan dengan paham-paham kebebasan yang lain dan dengan modal itulah aku tak merasa diikat oleh aturan atas kebebasan diriku sendiri.

            Aku bebas. Tubuhku adalah otoritasku. Aku bebas berekspresi, hingga puncaknya, aku meyakini bahwa jilbab yang selama ini kupakai hanyalah budaya dari suatu negara. Kutanggalkan jilbabku sebagai wujud solidaritasku dalam keberagaman yang tak bersekat-sekat,

            “Gue, Katrina Alika yang akan bersuara lantang mengenai pembelaan hak perempuan di Negeri Antah Berantah ini! Kami kuat karena bersatu. Tidak ada satu pihak pun yang mampu menindas kami!” Tekadku sangat bulat setelah 2 bulan bergabung di paguyuban tersebut.

***

            Sore itu, seperti biasanya kami berkumpul di suatu taman kota untuk bertemu sekaligus membahas berbagai isu terkini dan langkah-langkah pergerakan di kemudian hari, apalagi kalau bukan untuk mencapai tujuan bersama.

            “Hei, gue bawa temen baru nih! Dia rada pemalu, tapi kayanya mah garang juga nih. Boleh lo langsung kenalin diri aja.” Rangkulku ke anggota baru tersebut.

            “MmmKenalin, namaku Sarah Maisarah asalnya dari daerah Tanah Lapang. Aku seneng banget bisa gabung sama temen-temen di sini. Kalian keren seperti wonderwomen.” Sarah tersipu malu memperkenalkan diri dengan logat kedaerahannya.

            “Jadi gimana gais terkait RUU yang pro sama kita bakal disahkan kan? Gue tuh gangerti ya sama orang-orang di negeri ini. Ya coba dong open minded gitu. Udah mah pemikirannya kolot terus ngotot pula! Bikin kita ngeluarin tenaga ekstra kan. Masa terkait sexual consent aja diributin, ya gak sih? Toh tubuh ini tubuh kita sendiri gitu loh, ya kalo mau ngapa-ngapain harus dapat persetujuan pemiliknya lah!” Aku mengawali pembicaraan.

            “Emang sexual consent itu apa sih, Rin?” Sarah bertanya dengan polosnya.

            “Oh iya, gue lupa. Sarah kan member baru ya, hehe, gue udah kejauhan angkat bahasannya.”

            “Jadi gini, Sar, gampangnya tentang sexual consent merupakan persetujuan dari kedua belah pihak buat berhubungan seks. Jadi gaada keterpaksaan gitu loh.”

            “Wah bener tuh, Rin.” Sarah menyetujui pernyataanku.

            “Tapi rin, apakah ini ada kaitannya dengan ikatan pernikahan?” Pertanyaan Sarah kali ini mulai kritis.

            “Sependek pemahaman gue sih, ga ngaruh. Selama suka sama suka dan saling setuju, why not? Hehehe.”

            “Oalah gitu ya, Rin. Rin tapi bukannya hal itu tuh masuknya ke kategori dosa besar ya kalau belum ada ikatan pernikahan? Zina, Rin.”

            “Aelah, Sar. Lo tuh polos banget sih! Ya gapapa dong, kan suka-suka mereka. Kita kan pendukung kebebasan. Kita masih muda, udahlah happy-happy aja, toh dosa urusan mereka. Ternyata pemikiran kamu masih konservatif ya, hahaha.”

            “Maklum, Rin, dia kan baru. lo juga dulu pas baru datang gitu kan? Haha. Tapi kayaknya lo lebih bar-bar deh.” Ledek salah seorang teman terkait jawabanku.

            Jawabanku sempat membuat pergolakan di hati Sarah. Keluarga Sarah termasuk keluarga yang taat aturan dan dekat dengan agama. Aku diceritakan olehnya, bahwa beberapa pamannya merupakan ustadz ternama di daerahnya.

            “Oh iya, bulan depan ada diskusi lagi tuh, rivalnya ya lawan kita. Orang-orang konservatif. Lo siap jadi pembicaranya Rin?”

            “Sure, why not?”

***

            Perhelatan diskusi terbuka akhirnya tiba juga. Meja dan kursi sudah disusun rapi, audiens mulai berdatangan, begitu pula pemateri sudah stand by di atas panggung dengan mengusung tema “Bagaimana Peran Kesetaraan Gender Bagi Kemajuan Negeri Antah Berantah?”. Di pihak pro ada Katrina sebagai pembicara dan di pihak kontra ada Isma dari Komunitas Emak-emak Tahan Banting. Sesi diskusi dimulai tepat waktu.

            “Baik, kita akan memulai dengan pemahaman kesetaraan gender itu sendiri. Boleh, Kak Katrina untuk lebih dulu memaparkannya.”

            “Baik, terima kasih moderator telah mempersilakan saya untuk mengawali diskusi. Ya. Sebagaimana kita tahu, selama ini perempuan sangat sering dipandang sebelah mata, direndahkan, dan dilecehkan karena merupakan kaum yang lemah. Kami mengusung paham kesetaraan gender yang juga bentuk penyetaraan hak-hak perempuan di segala lini. Perempuan bukan lagi sebatas rice cooker atau kain pel. Perempuan mampu berdaya guna. Dengan adanya dukungan bagi para perempuan untuk berkarier akan sangat mungkin untuk turut memajukan Negeri Antah Berantah ini. Yang pasti juga, kita tidak banyak diatur sehingga kita lebih merasa enjoy untuk berkarya.” Aku memaparkan dengan sangat menggebu.

            “Baik, terima kasih kepada kak Katrina, selanjutnya dipersilakan kepada Kak Isma untuk menyampaikan pendapatnya.”

            “Bagi kami, posisi antara laki-laki dan perempuan bukan terkait dengan suatu kesetaraan karena kami menganggap itu hanyalah sudut pandang materialis saja, lebih tepatnya posisi laki-laki dan perempuan adalah serasi pada perannya masing-masing. Tanpa adanya pengekangan dari salah satu pihak membuat keduanya mampu mengoptimalkan segala potensinya. Laki-laki dengan karakternya yang kuat sebagai pelindung dan pekerja keras, perempuan dengan karakternya yang lembut dan penyayang mampu memberikan kehangatan bagi sesamanya, anak-anaknya, para orang tua, dan suaminya. Sangat salah jika opini-opini di luar sana menyatakan bahwa islam tidak adil terhadap kaum perempuan. Dalam berislam, tidak ada diskriminasi. Laki-laki dan perempuan, bagaimanapun warna kulitnya, bentuk rambutnya, daerah asalnya, semua berhak mendapatkan pahala sesuai dengan amal yang dikerjakannya untuk meraih derajat taqwa. Jika kita tengok kembali bagaimana perjalanan Khadijah ibunda kita, beliau merupakan pedagang yang sukses, beliau terpandang, namun beliaulah yang melengkapi Rasulullah. Beliau berkorban hartanya tidak lebih sedikit dari kaum laki-laki sebagai bentuk perjuangannya. Beliau yang memberi ketenangan bagi Rasul, beliau mampu mengembangkan skill-nya. Perempuan memiliki peran yang sangat besar bagi kemajuan suatu peradaban, karena dari rahim-rahim terbaik akan melahirkan generasi yang terbaik juga. Janganlah kita saling menuntut dan menghakimi, bukankah dengan keserasian akan tercipta harmoni? Semua telah diatur dan ditakar secara adil sebagaimana porsinya. Saya seorang muslim, saya sangat bangga dan yakin dengan agama saya, Islam yang sempurna tanpa cacat, mungkin dalam keberjalanannya kerap kali manusianya yang salah, begitu juga saya yang tak luput dari dosa” Panjang lebar Isma menyampaikan pendapatnya, hatiku terketuk.

            “Kamu juga seorang muslim, Rin, namun mengapa tidak kau temukan kebanggaan seperti Isma akan Islam?” Renungku dalam hati.

            Diskusi berakhir setelah 1,5 jam berjalan dan keduanya teguh mempertahankan opininya terkait kesetaraan gender untuk kemajuan Negeri Antah Berantah di masa mendatang.

            Ada yang berbeda setelah perhelatan itu, Sarah secara konsisten menyatakan sikap untuk keluar dari paguyuban tersebut karena hati nuraninya meminta untuk kembali ke jalan yang ia tempuh sebelumnya, jalan islam yang syamil. Hatiku pun bergejolak. Aku tak menyangkal perkataan Isma bertubi-tubi menembus ke relung hati dan membuatku terus merenung. Aku yang menuhankan kebebasan terus berpikir akan kebenaran yang sesungguhnya. Aku mulai mempelajari apa yang mungkin terlewat dalam kehidupanku. Selama sepekan ini aku sering berkonsultasi dengan ustadzah di masjid yang tak jauh dari tempat kost-ku, aku merasakan ketenangan atas setiap jawaban yang beliau sampaikan. Sedikit demi sedikit, aku mulai melepas kegiatanku di paguyuban tersebut dan mulai menarik diri.

            “Aku merasa jauh lebih tenteram. Ya Allah, maafkan aku yang telah jauh dari jalanmu. Bimbing aku untuk kembali.” Doaku dalam hati.

            Terhitung lima hari sejak aku dan Sarah resmi mengundurkan diri, memilih jalan kami sendiri. Selepas shalat isya, kami yang mulai membiasakan shalat tepat waktu di masjid merasakan keganjilan ketika memasuki gang sempit dan gelap sebelum sampai ke tempat kos kami. Kami dihadang oleh 2 sosok lelaki tinggi besar yang merupakan bodyguard mama. Mama adalah panggilan kami kepada senior di paguyuban dahulu. Gang itu memang sangat sepi dan minim pencahayaan. Kami ditawari untuk kembali ke paguyuban dengan sejumlah imbalan. Kami menolak, karena kami yakin dengan identitas kami sebagai muslimah akhir zaman yang berusaha memegang teguh ketaatan pada-Nya. Keyakinan kami diganjar dengan pukulan. Kami kalah. Badan dan tenaga kami tak mampu mengelak setiap pukulan bertubi-tubi.

            “Ya Allah, jika pun ini akhir dari kehidupan kami, jadikan kami seorang muslimah terbaik di sisi-Mu, matikanlah kami dengan husnul khatimah. Ampuni dosaku selama ini. Sungguh aku sudah amat jauh darimu. Aku malu atas semua perbuatanku terdahulu. Tolong akui diriku sebagai hamba-Mu.” Lirihku dengan napas tersengal.

            “Ya Allah, saksikan bahwa kami seorang muslim. Kami tidak setangguh Sumayyah atau Nusaibah, namun sungguh kami sangat mengemis rahmat dan ampunanmu, Ya Rabb.” Dihadapanku, tergeletak Sarah dengan mata terpejam dan bibir yang kelu namun masih dapat kudengar sedikit doanya yang lirih dan rintihan kesakitannya.

            Dzikir dan dzikir terus dilantunkan, tak sadar, mata kami terpejam.

 

Cinta kebebasan tak bertuan adalah semu

Hamba dan Tuhannya

Cinta dan ampunan-Nya

Takut dan harap hanya pada-Nya

Kami seorang Muslimah akhir zaman

Penuh fitnah dan tipu daya, halang juga rintang

Semoga senantiasa terjaga dan mampu menjadi penegak kalimat-Nya

Menjadi umat terbaik yang dipilih secara khusus oleh-Nya

Kamu mungkin sudah terlalu jauh mengembara, mari lekas pulang

Kita berkumpul di Jannah-Nya. 

***

Dalam rangka mengikuti Alqolam Writing Festival

Labels:



Post a Comment



Older | Newer


Older | Newer