Gelap. Gang ini gelap. Penglihatanku
remang-remang, namun masih mampu kudapati seberkas cahaya di ujung gang.
Badanku terasa remuk, pelipisku dibanjiri darah, sudut bibirku terasa nyeri
sekali.
“Sebentar, aku ini dimana?”
“Apa aku masih hidup atau sudah
mati?”
Aku mampu kembali sadar. Kutatap
sekeliling, sepi. Kudapati seorang perempuan tergeletak dan tak sadarkan diri
tepat beberapa meter di depanku.
“Sarah!” Pekikku kaget.
“Dalam ketidakberdayaanku kali ini,
aku percaya Engkau ada. Engkau memberi kesempatan bagiku sekali lagi untuk
tetap bernapas. Kau masih membiarkanku hidup. Tolong beri aku kekuatan, aku
tidak akan biarkan Sarah sekarat!” Aku mencoba bangkit dengan sisa-sisa tenaga
yang dimiliki dan segera kuraih tubuh Sarah yang penuh lebam dan bibir pucat.
“Tolong! Tolong beri kami kesempatan
satu kali lagi, Ya Allah! Izinkan kami untuk menjadi pejuang dalam menegakkan
agama-Mu.” Jeritku penuh harap dari lubuk hati terdalam.
***
“Seorang perempuan masa kini, udah
bukan jamannya lagi ada di ketiak laki-laki yang hanya mengurusi sumur, dapur,
dan kasur. Ciiih!” Seorang perempuan dengan rambut tergerai mengenakan
kaos oblong putih dengan beraninya berbicara di suatu debat terbuka.
“Dimana letak keadilan Tuhan untuk
kami para perempuan? Kami ingin kebebasan! Jangan apa-apa agama, ini-itu agama,
duh capek deh! Agama kok ngatur banget ya!”
“Kami ini menuntut kesetaraan!
Perempuan ditindas, dilecehkan, dibatasi haknya, dan hanya dijadikan sebagai
objek bagi laki-laki. Apakah kalian setuju puan?” Lanjutnya lagi dan
dilanjutkan dengan soraknya yang sangat bergelora.
“Setuju!”
“Ya, betul!”
“Sangat betul kak! Agama menyulitkan
saja!”
Suasana menjadi ramai riuh seperti
sedang menabuh genderang perang saja. Aku terbawa suasana juga, menggebu-gebu,
dan ingin sekali menyuarakan tentang kebebasan perempuan. Selama ini aku
melihat ibu hanya menjadi korban kekerasan ayah di rumah, ibu pula yang menjadi
tulang punggung keluarga. Aku tak tega jika mengingat kejadian tersebut dan
kini beliau telah tiada.
Aku murka dan sangat kesal dengan
ayahku yang bagiku beliau adalah penyebab kematian ibu. Aku merasa Tuhan tidak
adil menuliskan garis kehidupanku sehingga kuputuskan untuk mencari tempat pelarian
yang bisa memberikan empati atas apa yang sedang aku rasakan. Ya, aku bergabung
ke suatu paguyuban yang membela hak-hak perempuan atau sering dibilang dengan
perkumpulan para feminis. Bak sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, aku
pun dikenalkan dengan paham-paham kebebasan yang lain dan dengan modal itulah
aku tak merasa diikat oleh aturan atas kebebasan diriku sendiri.
Aku bebas. Tubuhku adalah
otoritasku. Aku bebas berekspresi, hingga puncaknya, aku meyakini bahwa jilbab
yang selama ini kupakai hanyalah budaya dari suatu negara. Kutanggalkan
jilbabku sebagai wujud solidaritasku dalam keberagaman yang tak bersekat-sekat,
“Gue, Katrina Alika yang akan
bersuara lantang mengenai pembelaan hak perempuan di Negeri Antah Berantah ini!
Kami kuat karena bersatu. Tidak ada satu pihak pun yang mampu menindas kami!”
Tekadku sangat bulat setelah 2 bulan bergabung di paguyuban tersebut.
***
Sore itu, seperti biasanya kami
berkumpul di suatu taman kota untuk bertemu sekaligus membahas berbagai isu
terkini dan langkah-langkah pergerakan di kemudian hari, apalagi kalau bukan
untuk mencapai tujuan bersama.
“Hei, gue bawa temen baru nih!
Dia rada pemalu, tapi kayanya mah garang juga nih. Boleh lo
langsung kenalin diri aja.” Rangkulku ke anggota baru tersebut.
“Mmm… Kenalin, namaku
Sarah Maisarah asalnya dari daerah Tanah Lapang. Aku seneng banget bisa
gabung sama temen-temen di sini. Kalian keren seperti wonderwomen.”
Sarah tersipu malu memperkenalkan diri dengan logat kedaerahannya.
“Jadi gimana gais terkait RUU
yang pro sama kita bakal disahkan kan? Gue tuh gangerti ya sama
orang-orang di negeri ini. Ya coba dong open minded gitu. Udah mah
pemikirannya kolot terus ngotot pula! Bikin kita ngeluarin tenaga
ekstra kan. Masa terkait sexual consent aja diributin,
ya gak sih? Toh tubuh ini tubuh kita sendiri gitu loh, ya kalo
mau ngapa-ngapain harus dapat persetujuan pemiliknya lah!” Aku
mengawali pembicaraan.
“Emang sexual consent itu apa
sih, Rin?” Sarah bertanya dengan polosnya.
“Oh iya, gue lupa.
Sarah kan member baru ya, hehe, gue udah kejauhan angkat
bahasannya.”
“Jadi gini, Sar, gampangnya
tentang sexual consent merupakan persetujuan dari kedua belah pihak buat
berhubungan seks. Jadi gaada keterpaksaan gitu loh.”
“Wah bener tuh, Rin.” Sarah
menyetujui pernyataanku.
“Tapi rin, apakah ini ada kaitannya
dengan ikatan pernikahan?” Pertanyaan Sarah kali ini mulai kritis.
“Sependek pemahaman gue sih, ga
ngaruh. Selama suka sama suka dan saling setuju, why not?
Hehehe.”
“Oalah gitu ya, Rin.
Rin tapi bukannya hal itu tuh masuknya ke kategori dosa besar ya
kalau belum ada ikatan pernikahan? Zina, Rin.”
“Aelah, Sar. Lo tuh
polos banget sih! Ya gapapa dong, kan suka-suka mereka.
Kita kan pendukung kebebasan. Kita masih muda, udahlah happy-happy
aja, toh dosa urusan mereka. Ternyata pemikiran kamu masih konservatif ya, hahaha.”
“Maklum, Rin, dia kan baru. lo
juga dulu pas baru datang gitu kan? Haha. Tapi kayaknya
lo lebih bar-bar deh.” Ledek salah seorang teman terkait jawabanku.
Jawabanku sempat membuat pergolakan
di hati Sarah. Keluarga Sarah termasuk keluarga yang taat aturan dan dekat
dengan agama. Aku diceritakan olehnya, bahwa beberapa pamannya merupakan ustadz
ternama di daerahnya.
“Oh iya, bulan depan ada diskusi
lagi tuh, rivalnya ya lawan kita. Orang-orang konservatif. Lo
siap jadi pembicaranya Rin?”
“Sure, why not?”
***
Perhelatan diskusi terbuka akhirnya
tiba juga. Meja dan kursi sudah disusun rapi, audiens mulai berdatangan, begitu
pula pemateri sudah stand by di atas panggung dengan mengusung tema
“Bagaimana Peran Kesetaraan Gender Bagi Kemajuan Negeri Antah Berantah?”. Di
pihak pro ada Katrina sebagai pembicara dan di pihak kontra ada Isma dari
Komunitas Emak-emak Tahan Banting. Sesi diskusi dimulai tepat waktu.
“Baik, kita akan memulai dengan
pemahaman kesetaraan gender itu sendiri. Boleh, Kak Katrina untuk lebih dulu
memaparkannya.”
“Baik, terima kasih moderator telah
mempersilakan saya untuk mengawali diskusi. Ya. Sebagaimana kita tahu, selama ini
perempuan sangat sering dipandang sebelah mata, direndahkan, dan dilecehkan
karena merupakan kaum yang lemah. Kami mengusung paham kesetaraan gender yang
juga bentuk penyetaraan hak-hak perempuan di segala lini. Perempuan bukan lagi
sebatas rice cooker atau kain pel. Perempuan mampu berdaya guna. Dengan
adanya dukungan bagi para perempuan untuk berkarier akan sangat mungkin untuk
turut memajukan Negeri Antah Berantah ini. Yang pasti juga, kita tidak banyak
diatur sehingga kita lebih merasa enjoy untuk berkarya.” Aku memaparkan
dengan sangat menggebu.
“Baik, terima kasih kepada kak
Katrina, selanjutnya dipersilakan kepada Kak Isma untuk menyampaikan
pendapatnya.”
“Bagi kami, posisi antara laki-laki
dan perempuan bukan terkait dengan suatu kesetaraan karena kami menganggap itu
hanyalah sudut pandang materialis saja, lebih tepatnya posisi laki-laki dan
perempuan adalah serasi pada perannya masing-masing. Tanpa adanya pengekangan
dari salah satu pihak membuat keduanya mampu mengoptimalkan segala potensinya.
Laki-laki dengan karakternya yang kuat sebagai pelindung dan pekerja keras,
perempuan dengan karakternya yang lembut dan penyayang mampu memberikan
kehangatan bagi sesamanya, anak-anaknya, para orang tua, dan suaminya. Sangat
salah jika opini-opini di luar sana menyatakan bahwa islam tidak adil terhadap
kaum perempuan. Dalam berislam, tidak ada diskriminasi. Laki-laki dan
perempuan, bagaimanapun warna kulitnya, bentuk rambutnya, daerah asalnya, semua
berhak mendapatkan pahala sesuai dengan amal yang dikerjakannya untuk meraih
derajat taqwa. Jika kita tengok kembali bagaimana perjalanan Khadijah ibunda
kita, beliau merupakan pedagang yang sukses, beliau terpandang, namun beliaulah
yang melengkapi Rasulullah. Beliau berkorban hartanya tidak lebih sedikit dari
kaum laki-laki sebagai bentuk perjuangannya. Beliau yang memberi ketenangan
bagi Rasul, beliau mampu mengembangkan skill-nya. Perempuan memiliki
peran yang sangat besar bagi kemajuan suatu peradaban, karena dari rahim-rahim
terbaik akan melahirkan generasi yang terbaik juga. Janganlah kita saling
menuntut dan menghakimi, bukankah dengan keserasian akan tercipta harmoni?
Semua telah diatur dan ditakar secara adil sebagaimana porsinya. Saya seorang
muslim, saya sangat bangga dan yakin dengan agama saya, Islam yang sempurna
tanpa cacat, mungkin dalam keberjalanannya kerap kali manusianya yang salah,
begitu juga saya yang tak luput dari dosa” Panjang lebar Isma menyampaikan
pendapatnya, hatiku terketuk.
“Kamu juga seorang muslim, Rin,
namun mengapa tidak kau temukan kebanggaan seperti Isma akan Islam?” Renungku
dalam hati.
Diskusi berakhir setelah 1,5 jam
berjalan dan keduanya teguh mempertahankan opininya terkait kesetaraan gender
untuk kemajuan Negeri Antah Berantah di masa mendatang.
Ada yang berbeda setelah perhelatan
itu, Sarah secara konsisten menyatakan sikap untuk keluar dari paguyuban
tersebut karena hati nuraninya meminta untuk kembali ke jalan yang ia tempuh
sebelumnya, jalan islam yang syamil. Hatiku pun bergejolak. Aku tak menyangkal
perkataan Isma bertubi-tubi menembus ke relung hati dan membuatku terus
merenung. Aku yang menuhankan kebebasan terus berpikir akan kebenaran yang
sesungguhnya. Aku mulai mempelajari apa yang mungkin terlewat dalam
kehidupanku. Selama sepekan ini aku sering berkonsultasi dengan ustadzah di
masjid yang tak jauh dari tempat kost-ku, aku merasakan ketenangan atas setiap
jawaban yang beliau sampaikan. Sedikit demi sedikit, aku mulai melepas
kegiatanku di paguyuban tersebut dan mulai menarik diri.
“Aku merasa jauh lebih tenteram. Ya
Allah, maafkan aku yang telah jauh dari jalanmu. Bimbing aku untuk kembali.”
Doaku dalam hati.
Terhitung lima hari sejak aku dan
Sarah resmi mengundurkan diri, memilih jalan kami sendiri. Selepas shalat isya,
kami yang mulai membiasakan shalat tepat waktu di masjid merasakan keganjilan
ketika memasuki gang sempit dan gelap sebelum sampai ke tempat kos kami. Kami
dihadang oleh 2 sosok lelaki tinggi besar yang merupakan bodyguard mama.
Mama adalah panggilan kami kepada senior di paguyuban dahulu. Gang itu memang
sangat sepi dan minim pencahayaan. Kami ditawari untuk kembali ke paguyuban
dengan sejumlah imbalan. Kami menolak, karena kami yakin dengan identitas kami
sebagai muslimah akhir zaman yang berusaha memegang teguh ketaatan pada-Nya.
Keyakinan kami diganjar dengan pukulan. Kami kalah. Badan dan tenaga kami tak
mampu mengelak setiap pukulan bertubi-tubi.
“Ya Allah, jika pun ini akhir dari
kehidupan kami, jadikan kami seorang muslimah terbaik di sisi-Mu, matikanlah
kami dengan husnul khatimah. Ampuni dosaku selama ini. Sungguh aku sudah amat
jauh darimu. Aku malu atas semua perbuatanku terdahulu. Tolong akui diriku
sebagai hamba-Mu.” Lirihku dengan napas tersengal.
“Ya Allah, saksikan bahwa kami
seorang muslim. Kami tidak setangguh Sumayyah atau Nusaibah, namun sungguh kami
sangat mengemis rahmat dan ampunanmu, Ya Rabb.” Dihadapanku, tergeletak Sarah
dengan mata terpejam dan bibir yang kelu namun masih dapat kudengar sedikit
doanya yang lirih dan rintihan kesakitannya.
Dzikir dan dzikir terus dilantunkan,
tak sadar, mata kami terpejam.
Cinta
kebebasan tak bertuan adalah semu
Hamba
dan Tuhannya
Cinta
dan ampunan-Nya
Takut
dan harap hanya pada-Nya
Kami
seorang Muslimah akhir zaman
Penuh
fitnah dan tipu daya, halang juga rintang
Semoga
senantiasa terjaga dan mampu menjadi penegak kalimat-Nya
Menjadi
umat terbaik yang dipilih secara khusus oleh-Nya
Kamu mungkin sudah terlalu jauh mengembara, mari lekas pulang
Kita berkumpul di Jannah-Nya.
***
Dalam rangka mengikuti Alqolam Writing Festival
Labels: cerpen
Post a Comment