
Tentang Seorang Lelaki
09 October, 2020
•
1 comment {s}
Dini hari.
Suara bising bercampur riuh yang kalut membangunkanku.
"Lia, bangun! Banjiiiirrrrr...!"
Akupun bangun dan tergopoh melihat kondisi rumah yang sudah digenangi air, terlebih di ruang tamu dan salah satu kamar. Membantu sebisaku, seperti biasa, ditambah sedikit kepanikan dan kondisi orang yang terbangun karena kaget. Aku mencari kain pel namun tak kutemui juga karena kondisi di depan rumah sedang dipenuhi oleh alat-alat bangunan. Ya kutelusuri dari depan hingga belakang rumah, namun nihil.
"Baiklah, kupakai ini saja!" Kutarik sprei yang kadung basah.
Kulihat ibu sudah bersiaga menghadang genangan yang sangat mungkin menjadi jauh lebih banyak debit airnya, di depan pintu. Ayahku sudah bersiaga di bangunan baru untuk membuka celah-celah resapan air.
Melodi yang berasal dari nyanyian katak khas seperti memanggil hujan disertai guyuran air yang ditumpahkan langit. Syahdu, membuat siapapun untuk memilih tetap pada kasurnya masing-masing tapi tidak buatku.
Genangan air yang masuk itu sukses melakukan ekspansi. Aku mengurus genangan di kamar dan ibu di ruang tamu. Barang2 pun dipindahkan dengan cepat supaya tidak semakin basah, adik-adik pun segera dievakuasi ke kamar belakang.
Drama penyelamatan kamar dan ruang tengah terus berlangsung.
"Lia coba lihat abi di luar! Kayaknya abi memanjat ke dekat rumah tetangga."
Kuturuti saja seruan ibuku. Jelas saja, kudapati ayah sedang bergulat melihat bagian mana yang harus segera ditutup untuk mencegah banjir lebih parah.
"Lia, tolong ambilkan banner!"
"Yang mana bi?" Sambil kucari ditumpukan barang di depan rumah.
"Pakai itu saja, banner yang berdiri."
"Oh, x-banner!"
Kuserahkan banner tersebut dan kudapati beliau sedang berjuang memasangkan di bawah lebatnya hujan dini hari. Aku pun masuk untuk kembali membersamai ibuku. Mengupayakan untuk air bisa surut dan tidak lagi menggenang. Sementara itu, kudengar suara ayahku mengetukkan benda tumpul ke tanah, sebagai upaya untuk membuat resapan air.
Pertunjukan malam ini, bak episode rintik sendu bagiku. Kulihat bagaimana perjuangan ayahku menerobos hujan dan ibuku siap siaga membantu di tempat yang berbeda. Hatiku mengelu.
***
Seketika kuteringat peristiwa kebakaran yang hampir membumihanguskan rumah kami. Saat itu sedang kumpul keluarga, tiba-tiba kepulan asap memenuhi seisi rumah yang ternyata sumbernya dari dapur. Ternyata ibuku lupa mematikan kompor yang di atasnya terdapat penggorengan dengan minyak panas yang telah berubah wujud. Kutengok ke belakang, dan kudapati api sudah menyala-nyala yang sedikit lagi, sampai ke atap rumah. Qadarullah ayah dan paman dengan tenang dan heroik berusaha memadamkan api tersebut. Dimulai dari dicabutnya gas dari regulator dan menjauhkannya dari sumber api, dilanjutkan dengan ditutupinya kompor yang dipenuhi api dengan lap (keset) basah yg dicemplungkan ke got depan rumah terlebih dahulu.
Suasana kumpul keluarga yang semula penuh dengan canda tawa, berubah menjadi situasi yang menegangkan. Para ibu dan anak bersahutan satu sama lain karena panik. Aku, diam saja namun aku berdoa supaya api segera padam dan kebakaran dapat dihindarkan. Atas izin dan pertolongan-Nya, api berhasil padam tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti walaupun ingatan itu masih membekas kuat hingga hari ini.
***
Dua kejadian itu mengingatkanku dengan cuplikan kisah heroik perjuangan seorang laki-laki yang selama ini kupanggil abi yang dengan tanggung jawabnya yang besar menjadi pelindung bagi anak dan istrinya. Laki-laki dengan fisiknya yang lebih kuat dan emosinya yang terkendali memang secara fitrah menjadi sosok pelindung bagi wanita, anak kecil, dan orang tua. Ratusan bahkan ribuan kali kusaksikan kisah heroik perjuangannya dengan ibuku yang selalu membersamai di belakangnya sejak aku dalam kandungan hingga saat ini. Berkali-kali kupandangi punggung kedua orang tuaku satu-persatu, bersamaan dengan itu doa kupanjatkan untuk dua orang baik sebagai perantaraku ada di dunia ini. Betapa baiknya mereka yang selalu mendahulukan kepentingan anaknya di atas kepentingan pribadi.
"Ya Allah, ampuni dosa kedua orang tuaku dan sayangilah ia sebagaimana mereka menyayangiku sedari kecil, jagalah mereka dan adik-adik dengan sebaik-baiknya penjagaan dari-Mu. Jagalah kami dalam ketaatan kepada-Mu. "
Air mataku pun meleleh.
Jika ditanya terkait bagaimana kriteria calon pasanganku, dengan lugas aku akan menjawab, "Yang seperti abiku dan semoga yang lebih baik lagi dari beliau!"
Ayah dan ibuku merupakan role model bagiku. Keduanya yang senantiasa menyiramkan kasih dan kehangatannya kepada kami anak-anaknya, mengikutsertakanku yang dituakan daripada adik-adik pada tempaan-tempaan untuk menguatkan pundak yang lemah.
Sebagaimanapun kuatnya seorang wanita, pasti selalu membutuhkan sosok pelindung yakni makhluk bernama laki-laki dengan segala kebaikan budi dan tanggung jawabnya. Ya, laki-laki dan perempuan itu lebih cocok disandingkan dengan diksi yang serasi, bukan melulu tentang setara.
Yuk, berikan yang terbaik untuk kedua orangtua kita baik dari perlakuan, perkataan maupun doa.
Pun jika salah satu atau duanya telah tiada, mari kita langitkan doa dengan hati yang sebenar-benarnya tulus meminta kepada-Nya.
***
Bekasi, 9 Okt 2020
3.31 a.m
Labels: cerpen
Dini hari.
Suara bising bercampur riuh yang kalut membangunkanku.
"Lia, bangun! Banjiiiirrrrr...!"
Akupun bangun dan tergopoh melihat kondisi rumah yang sudah digenangi air, terlebih di ruang tamu dan salah satu kamar. Membantu sebisaku, seperti biasa, ditambah sedikit kepanikan dan kondisi orang yang terbangun karena kaget. Aku mencari kain pel namun tak kutemui juga karena kondisi di depan rumah sedang dipenuhi oleh alat-alat bangunan. Ya kutelusuri dari depan hingga belakang rumah, namun nihil.
"Baiklah, kupakai ini saja!" Kutarik sprei yang kadung basah.
Kulihat ibu sudah bersiaga menghadang genangan yang sangat mungkin menjadi jauh lebih banyak debit airnya, di depan pintu. Ayahku sudah bersiaga di bangunan baru untuk membuka celah-celah resapan air.
Melodi yang berasal dari nyanyian katak khas seperti memanggil hujan disertai guyuran air yang ditumpahkan langit. Syahdu, membuat siapapun untuk memilih tetap pada kasurnya masing-masing tapi tidak buatku.
Genangan air yang masuk itu sukses melakukan ekspansi. Aku mengurus genangan di kamar dan ibu di ruang tamu. Barang2 pun dipindahkan dengan cepat supaya tidak semakin basah, adik-adik pun segera dievakuasi ke kamar belakang.
Drama penyelamatan kamar dan ruang tengah terus berlangsung.
"Lia coba lihat abi di luar! Kayaknya abi memanjat ke dekat rumah tetangga."
Kuturuti saja seruan ibuku. Jelas saja, kudapati ayah sedang bergulat melihat bagian mana yang harus segera ditutup untuk mencegah banjir lebih parah.
"Lia, tolong ambilkan banner!"
"Yang mana bi?" Sambil kucari ditumpukan barang di depan rumah.
"Pakai itu saja, banner yang berdiri."
"Oh, x-banner!"
Kuserahkan banner tersebut dan kudapati beliau sedang berjuang memasangkan di bawah lebatnya hujan dini hari. Aku pun masuk untuk kembali membersamai ibuku. Mengupayakan untuk air bisa surut dan tidak lagi menggenang. Sementara itu, kudengar suara ayahku mengetukkan benda tumpul ke tanah, sebagai upaya untuk membuat resapan air.
Pertunjukan malam ini, bak episode rintik sendu bagiku. Kulihat bagaimana perjuangan ayahku menerobos hujan dan ibuku siap siaga membantu di tempat yang berbeda. Hatiku mengelu.
***
Seketika kuteringat peristiwa kebakaran yang hampir membumihanguskan rumah kami. Saat itu sedang kumpul keluarga, tiba-tiba kepulan asap memenuhi seisi rumah yang ternyata sumbernya dari dapur. Ternyata ibuku lupa mematikan kompor yang di atasnya terdapat penggorengan dengan minyak panas yang telah berubah wujud. Kutengok ke belakang, dan kudapati api sudah menyala-nyala yang sedikit lagi, sampai ke atap rumah. Qadarullah ayah dan paman dengan tenang dan heroik berusaha memadamkan api tersebut. Dimulai dari dicabutnya gas dari regulator dan menjauhkannya dari sumber api, dilanjutkan dengan ditutupinya kompor yang dipenuhi api dengan lap (keset) basah yg dicemplungkan ke got depan rumah terlebih dahulu.
Suasana kumpul keluarga yang semula penuh dengan canda tawa, berubah menjadi situasi yang menegangkan. Para ibu dan anak bersahutan satu sama lain karena panik. Aku, diam saja namun aku berdoa supaya api segera padam dan kebakaran dapat dihindarkan. Atas izin dan pertolongan-Nya, api berhasil padam tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti walaupun ingatan itu masih membekas kuat hingga hari ini.
***
Dua kejadian itu mengingatkanku dengan cuplikan kisah heroik perjuangan seorang laki-laki yang selama ini kupanggil abi yang dengan tanggung jawabnya yang besar menjadi pelindung bagi anak dan istrinya. Laki-laki dengan fisiknya yang lebih kuat dan emosinya yang terkendali memang secara fitrah menjadi sosok pelindung bagi wanita, anak kecil, dan orang tua. Ratusan bahkan ribuan kali kusaksikan kisah heroik perjuangannya dengan ibuku yang selalu membersamai di belakangnya sejak aku dalam kandungan hingga saat ini. Berkali-kali kupandangi punggung kedua orang tuaku satu-persatu, bersamaan dengan itu doa kupanjatkan untuk dua orang baik sebagai perantaraku ada di dunia ini. Betapa baiknya mereka yang selalu mendahulukan kepentingan anaknya di atas kepentingan pribadi.
"Ya Allah, ampuni dosa kedua orang tuaku dan sayangilah ia sebagaimana mereka menyayangiku sedari kecil, jagalah mereka dan adik-adik dengan sebaik-baiknya penjagaan dari-Mu. Jagalah kami dalam ketaatan kepada-Mu. "
Air mataku pun meleleh.
Jika ditanya terkait bagaimana kriteria calon pasanganku, dengan lugas aku akan menjawab, "Yang seperti abiku dan semoga yang lebih baik lagi dari beliau!"
Ayah dan ibuku merupakan role model bagiku. Keduanya yang senantiasa menyiramkan kasih dan kehangatannya kepada kami anak-anaknya, mengikutsertakanku yang dituakan daripada adik-adik pada tempaan-tempaan untuk menguatkan pundak yang lemah.
Sebagaimanapun kuatnya seorang wanita, pasti selalu membutuhkan sosok pelindung yakni makhluk bernama laki-laki dengan segala kebaikan budi dan tanggung jawabnya. Ya, laki-laki dan perempuan itu lebih cocok disandingkan dengan diksi yang serasi, bukan melulu tentang setara.
Yuk, berikan yang terbaik untuk kedua orangtua kita baik dari perlakuan, perkataan maupun doa.
Pun jika salah satu atau duanya telah tiada, mari kita langitkan doa dengan hati yang sebenar-benarnya tulus meminta kepada-Nya.
***
Bekasi, 9 Okt 2020
3.31 a.m
Labels: cerpen
Ntappss tehh. Semangatt terusss nulisnyaaaww
Post a Comment